Kamis, 22 Desember 2011

Aliansi Pedagang dan Korban Penggusuran Kecam Kebijakan Pemkot Kendari Unjukrasa mengecam kebijakan Pemkot Kendari Beritakendari.com-Kamis (22/12/2011) Menjelang akhir masa jabatannya, serangkaian kebijakan yang ditelorkan Pemerintah Kota Kendari dibawah kendali Asrun-Musadar mulai menuai kritik dan kecaman dari sejumlah elemen masyarakat karena dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil. Serangkaian kebijakan pemerintahan Asrun- Musadar yang dinilai tidak pro-rakyat antara lain pembagian lods Pasar Sentral Kota Kendari, Pasar Wua wua , pembangunan pelabuhan kontainer Bungkutoko, dan pembangunan terminal tipe A di Baruga. Pagi tadi, Kamis (22/12/2011) Forum Solidaritas Pedagang Pasar Baru yang merupakan gabungan dari 15 elemen lembaga, antara lain Forum Masyarakat Bungutoko, Forum Masyarakat Baruga, LBH Kendari, KPW-PRD Sultra menggelar aksi unjukrasa di kantor DPRD Kota Kendari untuk menyuarakan kekecewaan mereka terhadap kebijakan pemerintah Kota Kendari. “Kami datang di kantor dewan untuk mempertanyakan apakah para anggota dewan ini pro-rakyat atau pro-pemkot. Kita minta agar dewan turun kelapangan dan mengecek apa yang diperbuat pemkot terhadap masyakatnya,” kata Korlap Aksi Unjukrasa, Bustaman. Pengunjukrasa juga memprotes penyerobotan lahan milik warga atas nama Matius cs di Baruga dan pembebasan lahan warga di Bungutoko. Penyerobotan lahan itu menurut warga telah melanggar Perpres nomor 65 tahun 2009. “Ini kan ironis, masa pembangunan pasar Sentral Kota, Wua wua, Bonggoeya yang didanai oleh dana APBD, malah rakyat disuruh bayar DP. Harusnya gunakan itu dana APBD yang sudah dialokasikan untuk membangun pasar, jangan suruh rakyat yang bayar lods, kios dan DP. Kami menolak pembayaran seperti itu,” kecam, Hendrawan, salah seorang pengunjukrasa. Menanggapi tuntutan massa, Ketua Komisi III Alwi Genda didampingi rekannya Muh. Amin, Zainuddin Monggilo, Wa Ode Rachmasari dan Aladin berjanji akan memanggil pihak pemerintah untuk menyelesaikan masalah itu pada tangal 10 Januari 2012. [sh] Bentuk Kebijakan Kota Kendari Memanusiakan PKL di kota kendari Membangun sekelompok kecil manusia yang telah maju dan berkemampuan akan lebih mudah ketimbang manusia terbelakang dan tak berkemampuan. Sehingga tidak mengherankan, membangun kaum pengusaha besar lebih mudah daripada pedagang kaki lima (PKL) yang tertinggal dan miskin. Terbatasnya kesempatan kerja di sektor formal terutama bagi penduduk yang berpendidikan dan berketrampilan rendah terutama di kalangan kelompok miskin kota, menjadi pedagang kaki lima (PKL) sebuah alternatif pekerjaan yang cukup populer. Hal ini terkait dengan cirinya yang fleksibel, modal yang dibutuhkan relatif kecil dan tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit. Pedagang kaki lima (PKL) di beberapa kota besar identik dengan masalah kemacetan arus lalu lintas, karena PKL memanfaatkan trotoar sebagai media berdagang. Akan tetapi, bagi sebagian kelompok masyarakat, PKL justru menjadi solusi mereka karena menyediakan harga lebih miring. Sektor informal seperti PKL di kota kendari sering kali dianggap sebagai komunitas marjinal, maka memerlukan perubahan lebih mendalam daripada hanya sekedar pemberian kredit murah, dan bantuan teknis. Tapi pihak pemerintah memberikan perhatian dalam merumuskan solusi apa yang akan ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan menjamin ke beradaan PKL melalui perlindungan hukum, pembinaan, bimbingan dan mempermudah akses terhadap sumber-sumber ekonomi yang tersedia. Pemberdayaan dan keberfihakan pemerintah terhadap PKL yang lebih manusiawi akan membawa kota pada kesejahteraan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan daerah. Maka Komunikasi dan pertemuan rutin antara pemerintah kota dengan PKL tidak hanya ketika mau penertiban saja, sehingga PKL bisa diajak merumuskan bagaimana sebaiknya menata PKL dan memberdayakannya. PKL di kota kendari mempunyai karakteristik sebagai berikut. Pertama, aspek ekonomi, merupakan kegiatan ekonomi skala kecil dengan modal relatif minim, konsumen lokal dengan pendapatan menengah ke bawah, kegiatan usaha dikelola satu orang atau usaha keluarga dengan pola manajemen tradisional. Kedua, aspek Sosial, sebagian besar berpendidikan rendah dan masyarakat urban dengan jumlah anggota keluarga yang besar. Ketiga, aspek tempat usaha, kurang memperhatikan kebersihan dan berlokasi di tempat yang padat lalu lintas. Jumlahnya dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan akibat terbatasnya jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor formal. Jumlah PKL yang terus bertambah menghadirkan kompetisi tersendiri sehingga mereka enggan berpindah dari tempat berjualan. Melihat kompleksitasnya permasalahan PKL di kota kendari, khusunya di bulan ramadhan yang sebentar lagi datang, tentu memerlukan upaya ekstra dan strategis yang pas untuk menanganinya. Sebaiknya pemerintah kota mengizinkan PKL berjualan di area-area tertentu atau pada jam-jam tertentu, menyeragamkan ukuran, warna, dan bentuk lapak PKL sehingga terlihat rapih, serta menerapkan transparansi dalam penarikan retribusi, tidak menerapkan kebijakan penggusuran kecuali jika ada keluhan yang disampaikan secara resmi oleh masyarakat ke instansi yang terkait. Untuk itu, pemerintah kota kendari bersama dengan DPRD sebaiknya mempersiapkan peraturan daerah (perda) khusus untuk menata dan membina para PKL. Beberapa alasan yang membuat pemerintah kota belum mampu menemukan solusi untuk menghasilkan kebijakan pengelolaan PKL yang bersifat manusiawi. Pertama, PKL seringkali menjadi target utama kebijakan-kebijakan pemerintah kota, seperti penggusuran dan relokasi, berbagai kebijakan tersebut terbukti kurang efektif karena banyak PKL yang kembali beroperasi di jalanan meskipun pernah digusur atau direlokasi. Hal ini menekankan bahwa fenomena ekonomi informal, khususnya PKL di area perkotaan sulit diselesaikan. Kedua, pemerintah kota tidak memberikan kesempatan yang lebih besar kepada kelompok PKL untuk ikut menikmati dan mendapatkan akses dalam pemanfaatan ruang kota karena PKL diangggap membuat kota menjadi semrawut dan kotor walaupun banyak menampung tenaga kerja. Ketiga, pemerintah kota belum mempunyai kebijakan yang meliputi: kejelasan visi dan konsep, adanya basis data dan informasi yang akurat tentang keberadaan pkl di kota kendari, siapa mereka dan bagaimana sistem kehidupan yang dijalaninya, apa masalah riil yang terkait dengan PKL. Akibatnya, pemerintah kota cenderung menyepelekan keberadaan PKL serta membuat kebijakan menjadi salah sasaran. Keempat, arah kebijakan pembangunan pemerintah Kota kendari yang cenderung tertuju pada pengembangan pasar modern ketimbang pasar tradisional dan PKL karena keberadaan pasar modern tampak lebih teratur dan bersih, apalagi jika dibandingkan dengan pasar tradisional dan PKL yang sering terlihat semrawut. kelima, kurang adanya sosialisasi dari pemerintah kepada khalayak, sehingga PKL yang sudah ditertibkan di kios pasar, sepi pembeli karena tempat yang disediakan pemerintah ternyata kurang strategis dan kurang menguntungkan PKL sehingga masih banyak PKL yang tidak mau ditempatkan di kios-kios pasar yang dibangunkan pemerintah.


Aliansi Pedagang dan Korban Penggusuran Kecam Kebijakan Pemkot Kendari
Unjukrasa mengecam kebijakan Pemkot Kendari
      Beritakendari.com-Kamis (22/12/2011) Menjelang akhir masa jabatannya, serangkaian kebijakan yang ditelorkan Pemerintah Kota Kendari dibawah kendali Asrun-Musadar mulai menuai kritik dan kecaman dari sejumlah elemen masyarakat karena dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil.
Serangkaian kebijakan pemerintahan Asrun- Musadar yang dinilai tidak pro-rakyat antara lain pembagian lods Pasar Sentral Kota Kendari, Pasar Wua wua
, pembangunan pelabuhan kontainer Bungkutoko, dan pembangunan terminal tipe A di Baruga.
Pagi tadi, Kamis (22/12/2011) Forum Solidaritas Pedagang Pasar Baru yang merupakan gabungan dari 15 elemen lembaga, antara lain Forum Masyarakat Bungutoko, Forum Masyarakat Baruga, LBH Kendari, KPW-PRD Sultra menggelar aksi unjukrasa di kantor DPRD Kota Kendari untuk menyuarakan kekecewaan mereka terhadap kebijakan pemerintah Kota Kendari.
“Kami datang di kantor dewan untuk mempertanyakan apakah para anggota dewan ini pro-rakyat atau pro-pemkot. Kita minta agar dewan turun kelapangan dan mengecek apa yang diperbuat pemkot terhadap masyakatnya,” kata Korlap Aksi Unjukrasa, Bustaman.
       Pengunjukrasa juga memprotes penyerobotan lahan milik warga atas nama Matius cs di Baruga dan pembebasan lahan warga di Bungutoko. Penyerobotan lahan itu menurut warga telah melanggar Perpres nomor 65 tahun 2009. “Ini kan ironis, masa pembangunan pasar Sentral Kota, Wua wua, Bonggoeya yang didanai oleh dana APBD, malah rakyat disuruh bayar DP. Harusnya gunakan itu dana APBD yang sudah dialokasikan untuk membangun pasar, jangan suruh rakyat yang bayar lods, kios dan DP. Kami menolak pembayaran seperti itu,” kecam, Hendrawan, salah seorang pengunjukrasa.
Menanggapi tuntutan massa, Ketua Komisi III Alwi Genda didampingi rekannya Muh. Amin, Zainuddin Monggilo, Wa Ode Rachmasari dan Aladin berjanji akan memanggil pihak pemerintah untuk menyelesaikan masalah itu pada tangal 10 Januari 2012. [sh]













Bentuk Kebijakan Kota Kendari

         Membangun sekelompok kecil manusia yang telah maju dan berkemampuan akan lebih mudah ketimbang manusia terbelakang dan tak berkemampuan. Sehingga tidak mengherankan, membangun kaum pengusaha besar lebih mudah daripada pedagang kaki lima (PKL) yang tertinggal dan miskin.
        Terbatasnya kesempatan kerja di sektor formal terutama bagi penduduk yang berpendidikan dan berketrampilan rendah terutama di kalangan kelompok miskin kota, menjadi pedagang kaki lima (PKL) sebuah alternatif pekerjaan yang cukup populer. Hal ini terkait dengan cirinya yang fleksibel, modal yang dibutuhkan relatif kecil dan tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit.
Pedagang kaki lima (PKL) di beberapa kota besar identik dengan masalah kemacetan arus lalu lintas, karena PKL memanfaatkan trotoar sebagai media berdagang. Akan tetapi, bagi sebagian kelompok masyarakat, PKL justru menjadi solusi mereka karena menyediakan harga lebih miring.
       Sektor informal seperti PKL di kota kendari sering kali dianggap sebagai komunitas marjinal, maka memerlukan perubahan lebih mendalam daripada hanya sekedar pemberian kredit murah, dan bantuan teknis. Tapi pihak pemerintah memberikan perhatian dalam merumuskan solusi apa yang akan ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan menjamin ke beradaan PKL melalui perlindungan hukum, pembinaan, bimbingan dan mempermudah akses terhadap sumber-sumber ekonomi yang tersedia.
     Pemberdayaan dan keberfihakan pemerintah terhadap PKL yang lebih manusiawi akan membawa kota pada kesejahteraan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan daerah. Maka Komunikasi dan pertemuan rutin antara pemerintah kota dengan PKL tidak hanya ketika mau penertiban saja, sehingga PKL bisa diajak merumuskan bagaimana sebaiknya menata PKL dan memberdayakannya.
    PKL di kota kendari mempunyai karakteristik sebagai berikut. Pertama, aspek ekonomi, merupakan kegiatan ekonomi skala kecil dengan modal relatif minim, konsumen lokal dengan pendapatan menengah ke bawah, kegiatan usaha dikelola satu orang atau usaha keluarga dengan pola manajemen tradisional.
Kedua, aspek Sosial, sebagian besar berpendidikan rendah dan masyarakat urban dengan jumlah anggota keluarga yang besar.
Ketiga, aspek tempat usaha, kurang memperhatikan kebersihan dan berlokasi di tempat yang padat lalu lintas. Jumlahnya dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan akibat terbatasnya jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor formal.
Jumlah PKL yang terus bertambah menghadirkan kompetisi tersendiri sehingga mereka enggan berpindah dari tempat berjualan. Melihat kompleksitasnya permasalahan PKL di kota kendari, khusunya di bulan ramadhan yang sebentar lagi datang, tentu memerlukan upaya ekstra dan strategis yang pas untuk menanganinya.
Sebaiknya pemerintah kota mengizinkan PKL berjualan di area-area tertentu atau pada jam-jam tertentu, menyeragamkan ukuran, warna, dan bentuk lapak PKL sehingga terlihat rapih, serta menerapkan transparansi dalam penarikan retribusi, tidak menerapkan kebijakan penggusuran kecuali jika ada keluhan yang disampaikan secara resmi oleh masyarakat ke instansi yang terkait.
Untuk itu, pemerintah kota kendari bersama dengan DPRD sebaiknya mempersiapkan peraturan daerah (perda) khusus untuk menata dan membina para PKL. Beberapa alasan yang membuat pemerintah kota belum mampu menemukan solusi untuk menghasilkan kebijakan pengelolaan PKL yang bersifat manusiawi.
Pertama, PKL seringkali menjadi target utama kebijakan-kebijakan pemerintah kota, seperti penggusuran dan relokasi, berbagai kebijakan tersebut terbukti kurang efektif karena banyak PKL yang kembali beroperasi di jalanan meskipun pernah digusur atau direlokasi. Hal ini menekankan bahwa fenomena ekonomi informal, khususnya PKL di area perkotaan sulit diselesaikan.
Kedua, pemerintah kota tidak memberikan kesempatan yang lebih besar kepada kelompok PKL untuk ikut menikmati dan mendapatkan akses dalam pemanfaatan ruang kota karena PKL diangggap membuat kota menjadi semrawut dan kotor walaupun banyak menampung tenaga kerja.
Ketiga, pemerintah kota belum mempunyai kebijakan yang meliputi: kejelasan visi dan konsep, adanya basis data dan informasi yang akurat tentang keberadaan pkl di kota kendari, siapa mereka dan bagaimana sistem kehidupan yang dijalaninya, apa masalah riil yang terkait dengan PKL. Akibatnya, pemerintah kota cenderung menyepelekan keberadaan PKL serta membuat kebijakan menjadi salah sasaran.
Keempat, arah kebijakan pembangunan pemerintah Kota kendari yang cenderung tertuju pada pengembangan pasar modern ketimbang pasar tradisional dan PKL karena keberadaan pasar modern tampak lebih teratur dan bersih, apalagi jika dibandingkan dengan pasar tradisional dan PKL yang sering terlihat semrawut.
kelima, kurang adanya sosialisasi dari pemerintah kepada khalayak, sehingga PKL yang sudah ditertibkan di kios pasar, sepi pembeli karena tempat yang disediakan pemerintah ternyata kurang strategis dan kurang menguntungkan PKL sehingga masih banyak PKL yang tidak mau ditempatkan di kios-kios pasar yang dibangunkan pemerintah.










Rabu, 23 November 2011

Rweformasi Birokrasi Pelayanan Public

  Kata reformasi sampai saat ini masih menjadi idola atau primadona yang didambakan perwujudannya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang diarahkan pada terwujudnya efisiensi, efektivitas, dan clean government. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka  terjadilah keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat (Susanto: 185-186).
Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama.
Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses, prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Aktivitas reformasi sebagai padanan lain dari change, improvement, atau modernization.
Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap tingkah laku (the ethics being). Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah tercapainya pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien. 
Istilah efektivitas dan efisiensi merupakan konsep engineering yang diadaptasi dari sektor privat, yang kemudian dalam perkembangannya diterapkan dalam sektor publik yakni pemerintah. Apabila membicarakan efektivitas dan efisiensi maka harus dihubungkan dengan sasaran dan tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut. 
Dalam pelayanan publik apabila kedua hal diperbandingkan maka efektivitas jauh lebih penting dari efisiensi. Suatu pelayanan publik yang tidak efisien masih dapat dimaklumi sepanjang pelayanan itu efektif bagi masyarakat (Putra :19).
Efektivitas dapat dilihat dari 3 pendekatan yakni (Putra:22)
o     Pendekatan Sasaran (goal approach), mengukur efektivitas dari segi output.
o     Pendekatan Sumber (system resource approach), melihat dari inputnya
o     Pendekatan Proses (process approach), yakni menekankan pada faktor internal organisasi publik, seperti efisiensi dan iklim organisasi.
Akan tetapi walaupun pelayanan publik lebih menekankan efektivitas daripada efeisiensi, dalam tataran praktis konsep efektivitas tidak dapat dipisahkan dari konsep efisiensi. Unsur efisiensi adalah salah satu determinan untuk mengetahui apakah suatu kegiatan  bisa dikategorikan efektif atau tidak sebagaimana pendekatan ketiga.
Sementara itu Birokrasi diartikan sebagai kekuasaan atau pengaruh dari para kepala dan staf biro pemerintah. Dalam pengertian selanjutnya birokrasi adalah pegawai pemerintah, yang menjalankan dan menyelenggarakan tugas yang ditentukan oleh konstitusi, menjalankan program pembangunan, pelayanan publik, dan penerapan kebijakan pemerintah, yang biasanya disebut pegawai Sipil (Rozi:10). Dalam hal di Indonesia lebih dikenal dengan istiah Aparatur Pemerintah.
Aparatur pemerintah adalah orang-orang yang dipercaya  dan diberi mandat oleh negara  dan rakyat untuk mengelola pemerintahannya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian maka efektivitasnya harus diukur berdasarkan sejauh mana kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, dan ukurannya antara lain adalah seberapa tinggi tingkat pelayanan kepada masyarakat baik dibidang kesehatan, pendidikan dan lainnya (Gaspersz:203).
Birokrasi  dalam pengertian keseharian selalu dimaknai institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat (Tjokrowinoto:112). Segala bentuk upaya pemerintah dalam mengeluarkan produk kebijakannya semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani orang banyak. Walaupun persepsi ini mengandung titik–titik kelemahan, namun sampai saat ini pemerintah yang diwakili oleh institusi birokrasi tetap saja diakui sebagai motor penggerak pembangunan. Pemaknaan birokrasi sebagai organ pelayanan bagi masyarakat luas tentu merupakan pemaknaan yang bersifat idealis, dan pemaknaan ideal terhadap fungsi pelayanan yang diperankan birokrasi tidaklah  bisa menjelaskan  orientasi birokrasi.
Pola patron-client yang kental menjadikan ciri birokrasi menjadi berdampak mematikan inisiatif masyarakat, kualitas pelayanan masyarakat menjadi tidak efisien, karena praktek birokrasi yang terlalu hirearkis sehingga keputusan selalu ada di pejabat atas. Hal ini akan berakibat juga kreativitas, inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi dalam memberikan pelayanan menjadi kurang, sehingga pelayanan dinilai oleh masyarakat menjadi lamban dan berbelit-belit. Segi yang lain terjadilah pelayanan yang high cost karena agar cepat client diwajibkan untuk memenuhi persyaratan-persyaratan yang sengaja dibuat agar menyulitkan pelanggan (Rozi:127).
Birokrasi di Indonesia masih tampak menjaga jarak sosial (social distance) yang terlalu jauh dengan kelompok sasarannya yakni publik dan pengguna jasa layanan, sehingga rakyat  nyaris dalam situasi yang tidak berdaya  (powerless) dan tidak memiliki pilihan ( Tjokrowinoto:33). Dengan kondisi yang demikian itulah maka  penerapan organisasi pelayanan publik yang berorientasi  pada kemanusiaan akan sulit dilakukan. Budaya dasar birokrasi lebih banyak bersandar pada etos feodalisme.
Lalu pertanyaanya bagaimana upaya yang dilakukan agar birokrasi mampu melaksanakan misi utama yakni memberikan pelayanan secara efektif dan efisien kepada masyarakat. 
Jawabannya harus dengan melakukan perubahan atau reformasi, bukan saja terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur, sikap dan tingkah laku / etika (the ethics being).
Upaya reformasi yang berkaitan dengan proses dan prosedur relatif lebih mudah dilakukan, karena sebagian besar berkait dengan proses adminiistrasi, akan tetapi yang lebih fundamental adalah bagaimana melakukan perubahan sikap dan perilaku (the ethics being), sehingga birokrasi sebagai mesin pemerintah dapat berjalan dengan baik menuju ke tujuan yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat tanpa melakukan hal-hal yang tidak baik yang  bertentangan dengan moral dan etika.
Dimensi etika berkaitan dengan  skill based issues yang selama ini kurang tersentuh sebagai wacana perubahan. Terlebih di Indonesia dimana masyarakatnya adalah masyarakat paternalistik yang banyak bergantung pada dimensi para pemimpin sebagai panutan, termasuk didalamya dalam melakukan tugas penyelenggaraan negara.
Dalam konteks ini etika merupakan nilai-nilai moral yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, perilaku tindakan dan ucapannya dalam melaksanakan tugas, kewenangan dan fungsinya. Suatu profesi selalu memerlukan landasan etika yang menjadi acuan untuk bertindak anggotanya sehingga citra, kehormatan dan eksisitensinya terjaga.
Pernyataan moral merupakan sesuatu yang normatif ( Milwan : 5), pernyataan normatif berarti mengandung penilaian apa yang baik dan apa yang buruk. Sebagaimana disitir dari Sunaryati Hartono, makna etika mengandung moral, keinginan untuk maju, semakin sejahtera dan semakin makmur dan hidup tertatur damai, sebagai perilaku, baik masyarakat dan negara.
Oleh karenanya maka setiap penyelenggara negara harus berakhlak mulia, tepat janji, jujur, disiplin, adil, taat hukum, hati-hati dan cermat, sopan santun, dan kesetaraan. Untuk dapat melakukan itu maka perubahan cara berfikir birokrasi harus dilakukan.
Perubahan etika ini akan berkaitan dengan perubahan budaya organisasinya yakni budaya yang diperlakukan sebagai sikap dan perilaku individu dan kelompok aparatur negara yang dilandasi oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas pekerjannya setiap hari. Pelaksanaan budaya kerja ini seharusnya dilakukan sebagai langkah awal dalam melaksanakan reformasi birokrasi.
Birokrasi sebagai komponen pemerintah harus dikembalikan lagi untuk hanya terfokus kepada fungsi, tugas prinsip pelayanan publik (public service).
Birokrasi harus netral dan bukan sebagai alat politik, sehingga ia bebas  untuk bersinergi dan berinteraksi dengan customer’s oriented yang pada hakikatnya adalah kepentingan pelayanan untuk masyarakat. Netral dalam arti siap menjadi pelayan publik yang bebas dari intervensi kekuatan politik.
Untuk melaksanakan konsep etika sebagaimana tersebut diatas maka Denhardt sebagaimana dikutip oleh Sugiyanto (2004: 30) melakukan strategi sebagai berikut:
1.     Membangun iklim etika dalam organisasi publik, strategi ini mengisyaratkan pentingnya membangun perilaku etis aparat publik melalui kekuatan kepemimpinan (strong leadership) dalam menciptakan iklim beretika, sehingga etika dijadikan sesuatu yang bernilai dan mendorong upaya ke arah penciptaan  komunikasi yang terbuka. Karena bagaimanapun terlebih di Indonesia pemimpin adalah model bawahannya.  Mengelola etika bukan sekedar membuat standar-standar berperilaku dan merekrut pegawai yang berkarakter moral tetapi juga termasuk menganalisis budaya organisasi, kerja sama untuk membangun budaya  yang menjadikan nilai yang tinggi akan integritas etika, mengembangkan kebijakan, prosedur serta sistem yang memungkinkan anggotanya mempunyai integritas etika.
2.     Mengembangkan Ethics Audit,  yakni suatu metode untuk menilai standar moral yang  dijadikan pedoman perilaku dalam organisasi dan termasuk penilaian untuk mereview aktivitas orang-orang dalam organisasi.
3.     Mengembangkan training program etika pemerintahan, dengan harapan dapat menjamin  sosialisasi dan internalisasi etika bagi pegawai. Termasuk didalamnya adalah membangkitkan semangat moral para aparat untuk menjadikan etika sebagai acuan berperilaku melalui komunikasi.
4.     Mengembangkan  standar berperilaku yang membatasi tindakan aparat publik, dengan cara meregulasi standar-standar perilaku yang telah menjadi prioritas dalam mengelaborasi nilai-nilai dasar moral.
5.     Menjamin   integritas etika dalam pekerjaan sehari-hari dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang menjamin transparansi dan integritas etika, rekrutmen  dan promosi berdasarkan meryt system dan pertimbangan etika, membuat regulasi, kontrol, dan rotasi jabatan yang ketat, dan membuat kebijakan-kebijakan yang transparan yang dapat meminimalisir konflik.
6.     Mengambil tindakan tegas  terhadap bentuk-bentuk penyelewengan.
Dengan demikian maka dimensi etika dalam pemerintahan harus dipahami secara jelas dan benar bahwa etika  adalah disiplin ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip moral dan bagaimana prinsip-prinsip moral tersebut dapat diterapkan. Oleh karenanya dalam etika bukan sekedar formulasi norma-norma  yang akan disepakati bersama akan tetapi juga berbicara mengenai strategi aplikasi dan pentingnya aspek manajerial yang akan menjadikan etika sesuatu yang dinamis dan realistik.

Kinerja Birokrasi Pelayanan Publik


        Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.

Para eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar negara di kawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers). Mereka juga mencatat beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap birokrasi untuk melakukan reformasi.

Reformasi menurut temuan PERC terjadi di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Korea Selatan. Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000 membaik, meskipun di bawah rata-rata, yakni masing-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun lalu yang 8,14 dan 8,7. Tahun lalu (1999), hasil penelitian PERC menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk.

Konsep Kebijakan

Informasi mengenai kinerja birokrasi publik terjadi karena kinerja belum dianggap sebagai suatu hal yang penting oleh penierintah. Tidak tersedianya informasi mengenai indikator kinerja birokrasi publik menjadi bukti dan ketidakseriusan pemerintah untuk menjadikan kinerja pelayanan publik sebagai agenda kebijakan yang penting. Kinerja pejabat birokrasi tidak pernah menjadi pertimbangan yang penting dalam mempromosikan pejabat birokrasi. Daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk menilai kinerja pejabat birokrasi sangat jauh relevansinya dengan indikator-indikator kinerja yang sebenarnya.

Akibatnya, para pejabat birokrasi tidak memiliki insentif untuk menunjukkan kinerja sehingga kinerja birokrasi cenderung menjadi amat rendah.Pemerintah terhadap birokrasi seringkali tidak ada hubungannya dengan kinerJà birokasinya. misalnya, dalam menentukan anggaran birokrasinya, pemerintah sama sekali idak mengaitkan anggaran dengan kinerja birokrasi. Anggaran birokrasi publik selama ini lebih didasarkan atas input, bukan cutput. Anggaran yang ditcrima oleh sebuah birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan, bukan oleh hasil yangakan diberikan oleh birokrasi itu pada masyarakatnya.

Akibatnya, dorongan untuk mewujudkan hasil dan kinerja cenderung rendah dalam kehidupan birokrasi publik.Karena anggaran sening menjadi driving force dari perilaku birokrasi dan para pejabatnya, mengaitkan anggaran yang ditçnirna oleh sebuah birokrasi publik dengan hasil atau kinerja bisa menjadi salah satu faktor yang mendorong perbaikan kinerja birokrasi publik. Para pejabat birokrasi yang ingin memperoleh anggaran yang besar menjadi terdorong untuk menunjukkan kmerja yang balk. Kalau ini dapat dilakukan, data dan informasi mengenai kinerja birokrasi publik niscaya akan tersedia sehingga penilaian kinerja birokrasi publik juga menjadi lebih mudah dilakukan.

Faktor lain yang menyebabkan terbatasnya informasi mengenai kinerja birokrasi publik adalah kompleksitas indikator kinerja yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik. Berbeda dengan swasta yang indikator kinerjanya relatif sederhana dan tersedia di pasar, indikator kinerja birokrasi sering sangat kompleks. Hal ini terjadi karena birokrasi publik memiliki stakeholders yang sangat banyak dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Perusahaan bisnis memiliki stakeholders yang jauh lebih sedikit, pemilik dan konsumen, dan kepentingannya relatif mudah dintegrasikan. Kepentingan utarna peinilik perusahaan ialah selalu memperoleh keuntungan, sedangkan kepentingan utama konsuuen biasanya adalait kualitas produk dan harga yang terjangkau.

Stakeholders dan birokrasi publik, seperti masyarakat pengguna jasa, aktivis sosial dan partai, wartawan, dan para penggusaha sering berkepentingan berbeda-beda dan berusaha mendesakkan kepentingannya agar diperhatikan oleh birokrasi publik. Penilaian kinerja birokrasi publik karenanya cenderung menjadi jauh lebih kompleks dan sulit dilakukan daripada di perusahaan bisnis.

Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu seperti efisiensi dan efektivitias, tetapi harus dilihat juga dan indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas, dan responsivitas. Penilaian kinerja dan sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik seringkali memiliki kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa tidak memiliki alternatif sumber pelayanan.

Dalam pelayanan yang diselenggarakan oleh pasar, yang pengguna jasa memiliki pilihan sumber pelayanan, penggunaan pelayanan bisa mencerminkan kepuasan terhadap memberi layanan. Dalam pelayanan oleh birokrasi publik, penggunaan pelayanan oleh publik sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepuasannya terhadap pelayanan. Kesulitan lain dalam menilai kinerja birokrasi publik muncul karena tujuan dan misi birokrasi publik seringkali bukan hanya sangat kabur, tetapi juga bersifat multidimensional.

Kenyataan bahwa birokrasi publik mernilild stakeholders yang banyak dan meinilild kepentingan yang sering berbenturan satu dengan lainnya membuat birokrasi publik mengalaini kesulitan untuk merumuskan inisi yang jelas. Akibatnya, ukuran kinerja organisasi publik di mata para stakeholders juga berbedabeda. Namun, ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik (Dwiyanto, 1995), yaitu sebagai berikut.

1. Produktivitas

Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahaini sebagai rasio antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.

2. Kualitas Layanan

Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dan organisasi publik. Dengan deinikian, kepuasaan masyarakat terh.dap Lyanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan murah.

Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas pelayanan seringkali dapat diperoleh dan media massa atau diskusi pubilk. Akibat akses terhadap informasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja organisasi publik yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.

3. Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kcbutuhan dan azpirasi.

Kumorotorno (1996) menggunakan beberapa kriteria untuk dijddikan pedoman dalam menilai kirerja organisasi pelayanan publik, antara lam, adalah berikut ini.

1. Efisiensi

Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis. Apabila diterapkan secar objektif, kriteria. seperti likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas merupakan kriteria efisiensi yang sangat relevan.

2. Efektivitas

Apakah tujuan dan didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai? Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, serta fungsi agen pembangunan.

3. Keadilan

keadilan mempertanyakan distnibusi dan alokasi layanan yang diselenggarakanoieh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat kaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan. Keduanya mempersoalkan apakah tingkat efektivitas tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat terpenuhi. Isu-isu yang mnyangkut pemerataan pembangunan, layanan kepada kelompok pinggiran dan sebagainya, akan mampu dijawab melalui kriteria ini.

4. DayaTanggap

Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan awasta, organisasi pelayanan publik merupakan bagan diri daya tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap.

Salim & Woodward (1992) melihat kinerja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi, efisiensi, efektivitas, dan persamaan pelayanan. Aspek ekonorni alam kinerja diartikan sebagai strategi untuk menggunakan sumber daya yang senunimal mungkin dalam proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik. Efisiensi kinerja pelayanan publik juga dilihat untuk menunjuk suatu kondisi tercapainya perbandingan terbaik/proporsional antara input pelayanan dengan output pelayanan.

Demikian pula, aspek efektivitas kinerja pelayanan ialah untuk melihat tercapainya pemenuhan tujuan atau target pelayanan yang telah ditentukan. Prinsip keadilan dalam pemberian pelayanan publik juga dilihat sebagai ukuran untuk menilai seberapa jauh suatu ventuk pelayanan telah memperhatikan aspek-aspek keadilan dan membuat publik memiliki akses yang sama terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan.
Zeithaini, Parasuraman, dan Berry (1990) mengemukakan bahwa kinerja pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui berbagai indikator yang sifatnya fisik.

Penyelenggaraan pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui aspek fisik pelayanan yang diberikan, seperti tersedianya gedung pelayanan yang representatif, fasilitas pelayanan berupa televisi, ruang tunggu yang nyaman, peralatan pendukung yang memiliki teknologi canggih, misalnya komputer, penampilan aparat yang menarik di mata pengguna jasa, seperti seragam dan aksesoris, serta berbagai fasilitas kantor pelayanan yang memudahkan akses pelayanan bagi masyarakat.

Berbagai perspektif dalam melihat kinerja pelayanan publik di atas memperlihatkan bahwa indikator-indikator yang dipergunakan untuk menyusun kinerja pelayanan publik ternyata sangat bervariasi. Secara garis besar, berbagai parameter yang dipergunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat dikelompokkan menjadi dua pendekatan. Pendekatan pertama melihat kinerja pelayanan publik dan perspektif pemberi layanan, dan pendekatan kedua melihat kinerja pelayanan publik dan perspektif pengguna jasa.

Pembagian pendekatan atau perspektif dalam nielihat kinerja pelayanan publik tersebut hendaknya tidak dilihat secara diametrik, melainkan tetap dipahami sebagai suatu sudut pandang yang saling berinteraksi di antara keduanya; Hal tersebut disebabkan dalam melihat persoalan kinerja pelayanan publik, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhinya secara timbal balik, terutama pengaruh interaksi lingkungan yang dapat mempengaruhi cara pandang birokrasi terhadap publik, demikian pula sebaliknya.

Dalam konteks kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia, pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Nomor 81 lahun 1995 telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian pelayanan kepada birokrasi publik secara baik. Berbagai prmsip pelayanan, seperti kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonoinis, dan keadilan yang merata merupakan prinsip-prinsip pelayanan yang harus diakomodasi dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia.

Prinsip kesederhanaan, misalnya, mempunyai maksud banwa prosedur atau tata cara pemberian pelayanan publik harus didesain sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat menjadi mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.
Perkembangan lingkungan global juga telah memberikan andil yang besar kepada birokrasi untuk semakin meningkatkan daya saing dalam kerangka pasar bebas dan tuntutan globatisasi.

Birokrasi publik dituntut harus mampu memberikan pelayanan yang sebaik mungkin, baik kepada publik maupun kepada investor dari negara lain. Salah satu strategi untuk merespons perkembangan global tersebut adalah dengan meningkatkan kapasitas birokrasi dalam pemberian pelayanan, publik. Penerapan strategi yang mengintegrasikan pendekatan kultural dan struktural ke dalam sistem pelayanan birokrasi, yang disebut dengan Total Quality Management (TQM), dapat dilakukan untuk semakin meningkatkan produktivitas dan perbaikan pelayanan birokrasi.

Perbaikan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik menjadi isu yang semakin penting untuk segera mendapatkan perhatian dan semua pihak. Birokrasi yang memiliki kinerja buruk dalam me’nberikan pelaydnan kepada publik akan sangat mempengaruhi kinerja pemerintah dan masyarakat secara keseluruan dalam rangka meningkatkan daya saing suatu negara pada era global.

Birokrasi pelayanan publik di Indonesia, berdasarkan laporan dan The World Competitiveness Yearbook tahun 1999 berada pada kelompok negara-negara yang memiliki indeks competitiveness paling rendah di antara 100 negara paling kompetitif di dunia (Cullen & Cushman, 2000: 15) semakin buruk dan semakin korup karena dengan semakin besarnya skor yang dimiliki, semakin buruk kualitas birokrasi di suatu negara.

Birokrasi di Indonesia dalam tahun 2001 hanya lebih baik dibandingkan dengan India dan Vietnam. Dan kacamata iklim bisnis secara keseluruhan, dengan mmperhatikan faktor sistemik, sosio-politik, lingkungan, pasar, dan dinamika perekonomian, Indonesia bahkan berada pada posisi paling bawah dalam indeks bisnis. Hal tersebut berarti bahwa Indonesi menjadi negara yang paling tidak menarik untuk tujuan melakukan investasi.

Kinerja birokrasi sebenarnya dapat dilihat melalui berbagai dimensi, seperti dimensi akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, responsivitas, maupun responsibiltas. Berbagai literatur yang membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki kesamaan substansial yakni untuk meihat seberapa jauh tingkat pencapaian hasil yang telah dilakukan oleh birokrasi pelayanan. Kinerja itu merupakan suatu konsep yang disusun dan berbagai indikator yang sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya.

Perspektif yang digunakan oleh birokrasi sebagai pemberi layanan merupakn perspektif yang sebenarnya berasal dan pendekatan birokrasi yang cenderung menempatkan diri sebagai regulator danipada sebagai pelayan. Kineqa birokrasi pada awálrwa banyak dipahanii oleh kalangan birokrasi hanya dan aspek responsibilitas, yakni sejauh mana pelayanan yang diherikan telah sesuai dengan aturan formal yang diterapkan.

Pemberian pelayanan yang telah menunjuk kepada aturan formal dianggap telah memenuhi sendi-sendi pelayanan yang baik dan aparat pelayanan dianggap telah konsisten dalam menerapkan aturan hukum pelayanan. Sulit untuk menelusuri lebih jauh, apakah penerapan prinsip tersebut telah membawa implikasi kepada kultur birokrasi pelayanan di Indonesia yang tidak dapat melakukan inisiatif dan inovasi pelayanan.

C.Akuntabilitas

Akuntabilitas dalam penvelenggaraan pelavanan publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan beberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang diiniliki oleh para stakeholders. Nilai dan norma pelayanan yang herkembang dalam masyarakat tersebut di antaranya meliputi transparansi pelayanan, prinsip keadilan, jaminan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan orentasi pelayanan yang dikembangkan terhadap masyarakat pengguna jasa.

Akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik dalampenelitian dilihat melalui indikator-indikator kinerja yang meliputi: (1) acuan pelayanan yang dipergunakan aparat birokrasi dalam proses penyelenggraan pelayanan publik. Indikator tersebut mencerminkan prinsip orientasi pelayanan yang dikembangkan oleh birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa; (2) tindakan yang dilakukan oleh aparat birokrasi apabila terdapat masyarakat pengguna jasa yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan; dan (3) dalam menjalankan tugas pelayanan, seberapa jauh kepentingan pengguna jasa memperoleh prioritas dari aparat birokrasi.

Aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan publik seringkali masih menerapkan standar nilai atau norma pelayanan secara sepihak, seperti pemberian pelayanan yang hanya berdasarkan pada juklak (petunjuk dan pelaksanaan) sehingga kecenderungan yang terjadi adalah lemahnya komitmen aparat birokrasi untuk akuntabel terhadap masyarakat yang dilayaninya.

Salah satu faktor penyebab yang menjadikan rendahnya tingkat akuntabilitas birokrasi adalah terlalu amanya proses indoktrinasi kultur birokrasi yang mengarahkan aparat birokrasi untuk selalu melihat ke atas. Selama ini aparat birokrasi telah terbiasa lebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada kepentingan masyarakat pengguna jasa. Birokrasi tidak pernah merasa bertanggung jawab kepada publik, melainkan bertanggung jawab kepada pimpinan atau atasannya.

Pemberian pelayanan yang memakan proses dan prosedur panjang, seperti yang terjadi di Unit Pelayanan Terpadu, juga menjadi indikasi masih rendahnya akuntabiltas dan birokrasi pelayanan yang ada. Keberadaan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) sebagai unit pelayanan yang pada awalya dirancang untuk memudahkan pelayanan masyarakat, pada kenyataannya justru cenderung memperpanjang proses dan prosedur pelayanan.

Meskipun demikian, keberadaannya masih tetap dipertahankan karena merupakan program dari Pemerintah Pusat. Seorang aparat birokrasi pada kantor Dmas Tata Kota mengakui telah terjadinya ketidakefektifan sistem pelayanan di UPTSA. Rendahnya akuntabilitas pemberian pelayanan publik oleh birokrasi dapat dilihat juga dan banyaknya kasus yang dialami oleh masyarakat pengguna jasa. Masalah prosedur pelayanan yang banyak merugikan masyarakat pengguna jasa, terutama masalah transparansi persyaratan yang diperlukan, merupakan kasus-kasus pelayanan yang banyak mencuat

Transparansi informasi birokrasi dalam pemberian pelayanan publik masih tetap menjadi isu yang penting bagi upaya ke arah perbaikan kinerja birokrasi pemerintah. Tindakan untuk melakukan reformasi birokrasi terutama diarahkan pada upaya untuk peningkatan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas birokrasi (Lubis, 2001).

Transparansi dalam birokrasi dapat memberikan implikasi pada meningkatnya tingkat korupsi di dalam birokrasi, tetapi reformasi tetap dilakukan di semua tingkatan birokrasi. Apabila reformasi dilakukan pada tingkat birokrasi pusat saja, hal tersebut justru hanya akan memindahkan korupsi dan birokrasi pusat ke birokrasi yang ada di daerah. Acuan pelayanan yang digunakan oleh aparat birokrasi juga dapat menunjukkan tingkat akuntabilitas pemberian pelayanan publik. Acuan pelayanan yang dianggap paling penting oleh birokrasi dapat merefleksikan pola pelayanan yang dipergunakan.

Pola pelayanan yang akuntabel adalah pola pelayanan yang mengacu pada kepuasan publik sebagai pengguna jasa. Birokrasi pelayanan di ketiga daerah ternyata masih menjadikan aturan dan petunjuk pimpinan sebagai acuan utama pemberian pelayanan. Birokrasi bahkan terlihat belum sepenuhnya mengerti dan memahami eksistensi birokrasi yang tetap tergantung pada publik.
Kesadaran aparat birokrasi tentang eksistensi publik yang dapat dipengaruhi eksistensi birokrasi juga masih sangat rendah.

Persepsi di kalangan aparat birokrasi yang selalu menempatkan diri (superior) terhadap publik sehingga menimbulkan sifat arogansi aparat birokrasi masih sangat dominan terlihat. Hasil temuan lapangan bahwa ini dapat memperlihatkan masih kuatnya kecenderungan orientasi pemberian pelayanan yang belum bersandar pada uasan masyarakat menunjukkan bahwa budaya ‘minta petunjuk atasan’ masih cenderung dijadikan referensi atau lebih dipentingkan pada melakukan pelayanan yang memuaskan masyarakat pengguna .

Acuan pelayanan birokrasi di ketiga daerah yang masih menempatkan pimpinan dan aturan sebagai sentral pelayanan membuktikan bahwa kultur atau corak birokrasi patrimonial masih mewarnai birokrasi dalam memberikan pelayanan publik. Aparat pelayanan yang bertindak atas dasar prinsip peraturan menjadi bersikap kaku dan tidak mendorong lahirnya kreativitas dalam pemberian layanan. Pelaksanaan pelayanan publik seharusnya bertitik tolak dari misi dan visi pelayanan agar dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat.

D.Responsivitas

Responsivitas adalah kemampuan birokrasi untuk rnengenal kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-progrm pelayanan sesuai dcngan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap birokasi lerhadap harapan, keinginan dan aspirasi, serta tuntutan pengguna jasa. Responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pebyanan serta mengembangkan program-program pelayan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Dilulio, 1991). Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek juga (Osborne & Plastrik, 1997).

Dalam operasionalisasinya, responsivitas pelayanan publik dijabarkan menjadi beberapa indikator, seperti meliputi (1) terdapat tidaknya keluhan dan pengguna jasa selama satu tahun terakhir; (2) sikap aparat birokrasi dalam merespons keluhan dan pengguna jasa; (3) penggnaan keluhan dan pengguna jasa sebagai referensi bagi perbaikan penyelenggaraan pelayanan pada masa mendatang (4) berbagai tindakan aparat birokrasi untuk memberikan kepuasan pelayanan kepada pengguna jasa; serta (5) penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku.

Keluhan yang disampaikan oleh masyarakat pengguna jasa merupakan indikator pelayanan yang memperlihatkan bahwa produk pelayanan yang selama ini dihasilkan oleh birokrasi belum dapat memenuhi harapan pengguna layanan.Responsivitas birokrasi yang rendah juga banyak disebabkan oleh belum adanya pengembangan komunikasi eksternal secara nyata oleh jajaran birokrasi pelayanan. Indikasi nyata dari belum dikembangkannya komunikasi eksternal secara efektif oleh birokrasi terlihat pada masih besarnya gap pelayanan yang terjadi. Gap pelayanan yang terjadi merupakan gambaran pelayanan yang memperlihatkan hahwa belum ditemukan kesamaan persepsi antara harapan pengguna jasa dan pemberi layanan terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.

Aparat birokrasi pelayanan di ketiga daerah penelitian terlihat masih membuka jurang komunikasi yang lebar dengan masyarakat pcngguna jasa. Tidak transparannya aparat birokrasi pelayanan pertanahan, misalnya, merupakan salah satu indikasi belum adanya pengembangan komunikasi eksternal di kalangan aparat birokrasi dengan rnasyarakat pengguna jasa. Tidak transparannya komunikasi dan birokrasi yang menyangkut pemberian pelayanan menyebabkan pihak masyarakat pengguna jasa selalu berada pada posisi yang dimikan.

Tidak adanya transparansi informasi dari birokrasi tersebut membuat banyak masyarakat pengguna jasa mengalami frustasi. Kornunikasi yang tidak efektif yang selama ini masih dikembangkan oleh birokrasi menunjukkan bahwa birokrasi belum mempunyai kesadaran untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa.

Responsivitas pemberian pelayanan publik salah satunya diukur melalui keterbukaan informasi dan seberapa jauh interaksi komunikasi yang terjalin antara birokrasi sebagai pemberi layanan dengan masyarakat pengguna jasa. Kasus di atas memperlihatkan gambaran bahwa masyarakat pengguna jasa seringkali belum mempunyai akses terhadap informasi pelayanan yang dibutuhkan, demikian pula kecenderungan aparat birokrasi justru terkesan menyembunyikan informasi kepada masyarakat. Dalam iklim komunikasi pelayanan yng tertutup seperti ini, sangat sulit untuk dapat mewujudkan responsivitas aparat birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan kepada publik.

E.Orientasi pada Pelayanan

Orientasi pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak energi birokrasi dirmanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Sistem pemberian pelayanan yang baik dapat dilihat dan besarnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh birokrasi secara efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan pelayanan. Idealisnya, segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh aparat birokrasi hanya dicurahkan atau dikonsentrasikat untuk melayani kebutuhan dan kepentingan pengguna jasa.

Kemampuan dan sumber daya aparat birokrasi sangat diperlukan agar orientasi pada pelayanan dapat dicapai. Contohnya, antara lain, adalah masalah penyediaan waktu kerja aparat yang benar-benar berorientasi pada pemberian pelayanan kepada masyarakat. Aparat birokrasi yang ideal adalah aparat birokrasi yang tidak dibebani oleh tugas-tugas kantor lain di luar tugas pelayanan kepada masyarakat.

Aparat pelayanan yang ideal juga seharusnya tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan lain seperti pekerjaan sambilan di luar pekerjaan kantor yang dapat mengganggu tugas-tugas penyelenggaraan pelayanan. Kinerja pelayanan aparat birokrasi akan dapat maksimal apabila bila semua waktu dan konsentrasi aparat benar-benar tercurah untuk melayani masyarakat pengguna jasa.

Kondisi pelayanan yang ideal di atas dalam realitasnya sangat sulit untuk diwujudkan dalam birokrasi. Ketidakjelasan pembagian wewenang, inkonsistensi pembagian kerja, serta sikap pimpinan kantor yang sewenang-wenang memberikan tugas kepada aparat bawahan tanpa memperhitungkan aspek sifat pekerjaan, urgensi pekerjaan, dan dampak pemberian tugas terhadap kualitas pemberian pelayanan kepada masyarakat. Hal-hal tersebut merupakan beberapa fakta penyebab sulitnya aparat birokrasi berkonsentrasi secara penuh pada tugas-tugas pelayanan masyarakat. Aparat birokrasi seringkali meninggalkan tugas pelayanan dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk tugas-tugas lain di luar tugas pelayanan.

Kondisi tersebut membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi terganggu. Masih seringnya aparat birokrasi meninggalkan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, erat kaitannya dengan adanya tugas-tugas tambahan yang dibebankan oleh pimpinan kepada aparat pada tingkat bawah yang menjalankan tugas pelayanan langsung kepada masyarakat. Hal tersebut sangat sering menimpa aparat birokrasi di tingkat desa, kelurahan, atau kecamatan yang merupakan tingkatan pemerintahan terendah yang langsung berhadapan dengan masyarakat.

Aparat pelayanan seringkali diperintahkan oleh pimpinan kantor desa atau kecamatan untuk menghadiri kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, scperti mewakili camat atau lurah melayat warga yang meninggal dunia, ikut serta dalam kegiatan posyandu, safari KB, pertemuan RW, atau pertemuan rapat warga lainnya, yang dilakukan pada saat jam pelayanan.

Penugasan aparat untuk dinas luar oleh pihak pimpinan kantor pada saat jam pelayanan masih seringkali ditemukan di beberapa kantor pelayanan baik di lingkungan kantor pelayanan desa, kecamatan, kantor pertanahan maupun kantor pelayanan perizinan. Kegiatan dinas luar yang seringkali dilakukan oleh aparat birokrasi adalah melakukan kegiatan peninjauan suatu kegiatan atau membantu pekerjaan dan seksi lainnya. Banyak ditemukan aparat pelayanan yang membantu tugas-tugas dari seksi atau bagian lainnya sehingga tugas pokoknya menjadi terbengkalai, seperti seorang kepala seksi pelayanan harus ikut dalam kegiatan penataan arsip, mengurusi surat menyurat, menjaga dan menerima telepon kantor, atau bahkan penyelenggaraan pasar murah atau sekaten.

Tugas-tugas tersebut belum termasuk tugas-tugas untuk kepentingan pribadi yang diberikan oleh pimpinan, seperti mengerjakan tugas-tugas kantor yang seharusnya menjadi bagian tugas pimpinan, menemani tamu kantor atau tamu pimpinan, menyampaikan suatu surat pembenitahuan ke kantor-kantor kelurahan, atau mewakili camat keliling kecamatan untuk memantau dan melakukan pembinaan kepada masyarakat. Pada akhirnya ketidakberadaan petugas pelayanan menyebabkan pemberian pelayanan terhadap pengguna jasa menjadi lambat sehingga kinerja pelayanan publik menjadi buruk.

Alasan yang seringkali dikemukakan oleh pimpinan kantor untuk menugaskan aparat pelayanan mengerjakan tugas lain pada saat-saat jam pelayanan adalah karena terbatasnya jumlah personil aparat pelayanan. Para pimpinan kantor, sebagaimana yang seringkali diungkapkan oleh para aparat, seringkali menggunakan alasan “pokokke endi sing selo”, atau pokoknya siapa saja aparat yang dianggap memiliki waktu luang, maka akan ditugaskan untuk dinas luar.

Manajemen pembagian tugas dan sebagian besar pimpinan birokrasi yang belum mencerminkan gaya seorang manajer tersebut menjadikan pola pembagian tugas dalam birokrasi antara urusan adimnistratif, tugas pimpinan, dan tugas pelayanan menjadi bercampur. Pimpinan birokrasi seningKali belwn dapat membedakan antara tugas pnibadi pimpinan, tugas pimpinan kantor yang tidak dapat diwakilkan kepada bawahan, dan tugas pelayanan masyarakat dan aparat pelayanan sehingga seningkali menyebabkan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat cenderung dapat dikalahkan oleh kepentingan pribadi pimpinan atau tugas-tuas pimpinan lainnya.

Pada sisi output pelayanan, birokrasi secara ideal harus dapat memberikan produk pelayanan yang berkualitas, terutama dan aspek biaya dan waktu pelayanan. Efisinsi pada sisi input dipergunakan untuk melihat seberapa jauh kemudahan akses publik terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan.

Akses publik terhadap pelayanan dipandang efisien apabila publik memiliki jaininan atau kepastian menyangkut biaya pelayanan. Kepastian biaya pelayanan yang hams dike1irkan oleh publik merupakan indikator penting untuk melihat intensitas korupsi dalam sistem layanan birokrasi. Birokrasi pelayanan publik yang korup akan ditandaj oleh besarnya biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh pengguna jasa dalam mengakses layanan. Publik, dengan demikian, harus mengeluarkan baya ekstra untuk dapat memperoleh pelayanan yang terbaik dan birokrasi, padahal secara prinsip seharusnya pelayanan terbaik harus dapat dinikmati oleh publik secara keseluruhan.

Demikian pula efisiensi pelayanan dan sisi output, dipergunakan untuk melihat pemberian produk pelayanan oleh birokrasi tanpa disertai adanya tindakan pemaksaan kepada publik untuk mengeluarkan biaya ekstra pelayanan, seperti suap, sumbangan sukarela, dan berbagai pungutan dalam proses pelayanan yang sedang berlangsung. Dalam kultur pelayanan birokrasj di Indonesia, telah lama dikenal istilah ‘tahu sania taint’, yang berarti adanya toleransi dan pihak aparat birokrasi maupun masyarakat pengguna jasa untuk menggunakan mekanisme suap dan mendapatkan pelayanan yang terbaik.

Kecenderungan aparat birokrasi untuk menerima pemberian uang dan masyarakat pengguna jasa tersebut disebabkan masih adanva budaya upeti dalam sistem pelayanan publik di Indonesia. Budaya pelayanan yang dikembangkan semenjak masa birokrasi keraiaan tersebut pada dasarnya menempatkan aparat birokrasi sebagai pihak yang harus dilayani oleh masyarakat, pelayanan yang hams dilakukan oleh masyarakat tersebut ialah dalam rangka memperoleh patron di dalam birokrasi yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan untuk membangun akses ke birokrasi. Mekanisme pemberian hiaya ekstra dalam praktik pelayanan birokrasi sesungguhnya memperlihatkan berbagai faktor yang sangat kompleks, seperti menyangkut masalah kultur psikologis, sistem pelayanan, mekanisme pengawasan, serta mentalitas aparat maupun pengguna jasa sendiri.

Praktik pelayanan dengan membenikan uang ekstra kepada apara birokrasi tersebut telah menjadi suatu kebiasaan umum di lingkunga birokrasi. Aparat birokrasi xnenjadi terbiasa dalam budaya pelayana yang mengharapkan adanya pemberian uang dan masyarakat. Apabila dalam memberikan pelayanan pengguna jasa tidak memberikan imbalan dalam bentuk uang ekstra tersebut, biasanya aparat dalarn bckcrja terkesan ogah-ogahan atau seenaknya sendiri. Sebaliknya, semakin besar jmbalan yang diberikan masyarakat pengguna jasa akan semakin memacu motivasi keqa aparat dalam melayani masyarakat pengguna jasa tersebut.

Selain ditinjau dan segi biaya, efisensi pelayanan publik juga ditinjau dan scgi waktu pelayanan. Keluhan yang dialami oleh pengguna jasa menyangkut waktu pelayanan adalah ketidakjelasan waktu pelayanan. Sebenarnya banyak pengguna jasa yang tidak berkeberatan untuk membayar mahal kalau jelas perinciannya untuk keperluan apa, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Akan tetapi, waktu yang diperlukan untuk mengurus pelayanan publik sangat tidak jelas.

Urusan yang sama sangat mungkin membutuhkan biaya dan waktu yang jauh berbeda.
Menurut petugas pelayanan, lamanya pemberian pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa disebabkan adanya kendala internal dan eksternal. Kendala iiLternal meliputi pealatan pendukung yang tidak memadai, kualitas SDM rendah, dan koordinasi antarunit. Selain itu, faktor kualitas sumber daya manusia yang relatif rendah semakin menghambat pemberian pelayanan kepada masyarakat.

Kualitas SDM yang rendah tersebut ditandai dengan ketidakmampuan petugas memberikan solusi kepada customer atau yang lebih dikenal dengan melakukan tindakan diskresi. Faktor rendahnya pendidikan para petugas pelayanan mempengaruhi peinikiran mereka bahwa semua keputusan harus berasal dan atasan dan harus berpegang teguh kepada juklak/juknis sehingga ketika seorang pengguna jasa memerlukan pelayanan yang cepat, aparat tidak mampu mcmenuhinya karena harus menunggu instruksi atasan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan pelayanan publik menjadi memerlukan waktu pelayanan yang relatif lebih lama.

Koordinasi antarunit seringkali menghambat pemberian pelayanan karena waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama. Kendala lain yang dihadapi adalah kendala eksternal yaitu kendala yang disebabkan oleh pengguna jasa itu sendiri seperti ketidaklengkapan dokumen, pengguna jasa tidak kooperatif dan ketiadaan koordinasi antarinstansi seperti dari kelurahan ke kecamatan. Masalah ketidaklengkapan persyaratan/dokumen yang harus dilengkapi oleh pengguna jasa seringkali membuat aparat menolak memberikan pelayanan.

Pengguna jasa disarankan untuk melengkapinya terlebih dahulu. Di sini yang menjadi persoalan adalah ketika lokasi tempat tinggal seorang pengguna jasa jauh dan instansi tersebut dan masalah kesibukan pengguna jasa membuat penyelesaian urusan menjadi lebih lama. Hal tersebut diakui oleh aparat sebagai penyebab utama kelambatan, tetapi jarang sekali aparat yang mempunyai inisiatif untuk tetap memproses berkas-berkas urusan tersebut dan kekurangan persyaratan dilengkapi kemudian. Bagi aparat, apabila tetap diproses, akan menyulitkan kerja mereka sendiri.

Pengguna jasa juga seringkali tidak kooperatif maksudnya yaitu bahwa kadangkala pengguna jasa menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan urusannya meskipun melanggar peraturan.
Kinerja Pelayanan Publik menghasilkan kesimpulan mengenai rçndahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Pada hakikatnya, pelayanan publik dirancang dan diselenggarakan antuk memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna jasa. Namun, persepsi antara masyarakat penggun jasa dan aparat birokrasi mengenai kualitas pelayanan publik yang efisien, transparan, pasti dan adil belum berhasil diwujudkan.

Sebagai penyelenggara pelayanan publik, birokrasi pemerintah gagal dalam merespons dinamika politik dan ekonomi sehingga pelayanan publik cenderung menjadi tidak efisien dan tidak responsif. Bahkan, berbagai bentuk patologi birokrasi telah berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Akibatnya, muncul banyak praktik KKN dalam penyelenggaraan pelayanan yang amat merugikan masyarakat pengguna jasa. Kinerja pelayanan publik yang buruk ini adalah hasil dan kompleksitas permasalahan yang ada di tubuh birokrasi Indonesia

F.Penutup

Perlu dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan irasional-hirarkis. Caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat pioner, bukan memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan proaktif, cerdas membaca keadaan kebutuhan publik, memandang semua orang sederajat di muka hukum, menghargai prinsip kesederajatan kemanusian, setiap orang yang berurusan diperlakukan dengan sama pentingnya.

Birokrasi yang propartisipan-outonomus bukan komando-hirarkis. Birokrasi Indonesia ke depan perlu mendukung dan melakukan peran pemberdayaan dan memerdekakan masyarakat untuk berkarya dan berkreatifitas. Perlu dikurangi kadar pengawasan dan represi terhadap hak ekspresi masyarakat. Perlu ditinggalkan cara-cara penguasaan masyarakat lewat kooptasi kelembagaan dan dihindari sikap dominasi.

Birokrasi bertindak profesional terhadap publik. Berperan menjadi pelayan masyarakat (public servent). Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan tidak terjadi pungutan liar. PNS perleu memberikan informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat dan bisa dimintai pertanggungjawabannya (public accountibility) lewat dengar pendapat (hearing) dengan legislatif atau kelompok kepentingan yang datang. Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses demokratisasi.

Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian.

Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan nepotisme. Birokrasi yang memberikan reward merit system (memberikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment kurang berjalan).

KONSEP BIROKRASI

Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat modern yang kehadirannya tak mungkin terelakkan. Eksistensi birokrasi ini sebagai konsekuensi logis dari tugas utama negara (pemerintahan) untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat (social welfare). Negara dituntut terlibat dalam memproduksi barang dan jasa yang diperlukan oleh rakyatnya (public goods and services) baik secara langsung maupun tidak. Bahkan dalam keadaan tertentu negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya.

Untuk itu negara membangun sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi.Birokrasi bagi sebagian orang dimaknai sebagai prosedur yang berbelit-belit, menyulitkan dan menjengkelkan. Namun bagi sebagian yang lain birokrasi dipahami dari perspektif yang positif yakni sebagai upaya untuk mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban yang dimaksud adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai sumber daya yang mendistribusikan sumber daya tersebut kepada setiap anggota masyarakat secara berkeadilan.

Pendapat yang berbeda di atas dapat dipahami dari perspektifnya masing-masing. Bagi yang berpandangan posisif terhadap birokrasi maka baginya birokrasi adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi bagi mereka yang berpandangan negatif maka birokrasi justru menjadi salah satu penghalang tercapainya tujuan sehingga keberadaan birokrasi harus dihilangkan.

Dalam pembahasan ini, akan dikupas tentang makna birokrasi dari berbagai perspektif dan kemudian disimpulkan tentang apa birokrasi itu sesungguhnya dan bagaimana seharusnya birokrasi itu dijalankan oleh aparat birokrasi yang disebut sebagai birokrat.

PENGERTIAN BIROKRASI

Sejauh ini, birokrasi menunjuk pada empat pengertian, yaitu: Pertama, menunjuk pada kelompok pranata atau lembaga tertentu. Pengertian ini menyamakan birokrasi dengan biro. Kedua, menunjuk pada metode khusus untuk pengalokasian sumberdaya dalam suatu organisasi besar. Pengertian ini berpadanan dengan istilah pengambilan keputusan birokratis. Ketiga, menunjuk pada “kebiroan” atau mutu yang membedakan antara biro-biro dengan jenis-jenis organisasi lain. Pengertian ini lebih menunjuk pada sifat-sifat statis organisasi (Downs, 1967 dalam Thoha, 2003). Keempat, sebagai kelompok orang, yakni orang-orang yang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan (Castle, Suyatno, dan Nurhadiantomo, 1983).

Dalam kehidupan sehari-hari istilah Birokrasi setidak-tidaknya dimaknai sebagai berikut (Albrow dalam Zauhar, 1996):

1. Bureaucracy as Rational Organization
Birokasi sebagai Organisasi Rasional. Dalam pengertian ini birokrasi dimaknai sebagai suatu organisasi yang rasional dalam melaksanakan setiap aktivitasnya. Setiap tindakan birokrasi hendaknya mengacu pada pertimbangan-pertimbangan rasional.

1. Bureaucracy as Rule by Official
Birokrasi sebagai Aturan yang dijalankan oleh para pejabat. Birokrasi merupakan seperangkat aturan yang dijalankan oleh para pejabat dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aturan-aturan itu dibuat guna mempermudah proses pelayanan publik. Namun pada kenyataannya aturan tersebut sering disalahgunakn demi kepentingan pejabat yang bersangkutan. Akibatnya masyarakat menjadi antipati dengan berbagai aturan yang dibuat oleh pejabat publik dan cenderung tidak ditaati.

1. Bureaucracy as Organizational Ineficiency
Birokrasi sebagai Pemborosan yang dilakukan oleh organisasi. Pemborosan (ineficiency) yang dimaksudkan adalah pemborosan dalam segi waktu, tenaga, finansial maupun sumber daya lainnya. Seringkali niat baik birokrasi untuk memberikan layanan yang efisien justru berbalik menjadi layanan yang tidak efisien dan mengecewakan masyarakat.

Karena itu masyarakat menjadi apatis terhadap berbagai slogan efisiensi yang disampaikan oleh aparat birokrasi. Semangat debirokratisasi menjadi tidak bermakna karena tidak diimbangi dengan sikap dan perilaku para pejabat yang tidak konsisten dan konsekuen dengan pernyataannya. Birokrasi justru dianggap sebagai tempat bersarangnya berbagai penyakit organisasi modern seperti pembengkakan pegawai, biaya tinggi dan sulit beradaptasi dengan lingkungannya.

1. Bureaucracy as Public Administration
Birokrasi sebagai Administrasi Publik. Birokrasi dalam hal ini disama artikan dengan administrasi publik. Administrasi Publik adalah proses pengelolaan sumber daya publik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat. Birokrasi adalah unsur pelaksana dari administrasi publik agar tujuan pelayanan kepada masyarakat tercapai secara efektif, efisien dan rasional.

1. Bureaucracy as Administration by Officials
Birokrasi sebagai Administrasi yang dilaksanakan oleh para pegawai. Dalam hal ini pemahaman terhadap makna birokrasi hampir sama dengan bureaucracy as rule by official dan bureaucracy as public administration.

1. Bureaucracy as the Organization
Birokrasi sebagai Organisasi. Organisasi yang dimaksudkan adalah organisasi memiliki struktur dan aturan-aturan yang jelas dan formal. Organisasi merupakan suatu sistem kerjasama yang melibatkan banyak orang, dimana setiap orang mempunyai peran dan fungsi serta tugas yang saling mendukung demi tercapainya tujuan organisasi.

Organisasi sebagai sistem kerjasama berarti: (a) sistem mengenai pekerjaan-pekerjaan yang dirumuskan secara baik, dimana masing-masing mengandung wewenang, tugas dan tanggung jawab yang memungkinkan setiap orang dapat bekerjasama secara efektif; (b) sistem penugasan pekerjaan kepada orang-orang berdasarkan kekhususan bidang kerja masing-masing; (c) sistem yang terencana dari suatu bentuk kerjasama yang memberikan peran tertentu untuk dilaksanakan kepada anggotanya.

1. Bureaucracy as Modern Society
Birokrasi merupakan ciri dari masyarakat modern. Bagi masyarakat modern keberaturan merupakan sebuah kemestian. Keberaturan itu dapat dicapai jika dilaksanakan oleh suatu institusi formal yang dapat mengendalikan perilaku menyimpang masyarakat. Institusi formal itu adalah birokrasi.
Secara etimologi Birokrasi berasal dari istilah ‘buralist’ yang dikembangkan oleh Reiheer von Stein pada 1821, kemudian menjadi ‘bureaucracy’ yang akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersoal dan leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002).
Birokrasi menurut Evers dalam Zauhar (1996) dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori yaitu:

1.Birokrasi dipandang sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat administrasi publik. Makna ini adalah sejalan dengan ide Weber tentang birokrasi, dan oleh Evers dinamakan Birokrasi Weber (BW).

2.Birokrasi dipandang sebagai bentuk organisasi yang membengkak dan jumlah pegawai yang besar. Konsep inilah yang sering disebut Parkinson Law.

3.Birokrasi dipandang sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan masyarakat. Oleh Evers (dalam Zauhar) disebut Orwelisasi.

Dengan demikian maka Istilah Birokrasi dalam masyarakat dimaknai secara diametral (bertentangan satu sama lain yang tidak mungkin mencapai titik temu):

1.Secara Positif: Birokrasi sebagai alat yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan adanya alat yang efisien dan efektif ini maka tujuan suatu organisasi (privat maupun publik) lebih mudah tercapai.

2.Secara Negatif: Birokrasi sebagai alat untuk memperoleh, mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan. Birokrasi adalah sesuatu yang penuh dengan kekakuan (inflexibility) dan kemandegan struktural (structural static), tatacara yang berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup diri terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent). Birokrasi seperti ini menurut Marx bersifat parasitik dan eksploitatif.
Dengan demikian maka Birokrasi dapat juga dimaknai sebagai suatu sistem kerja yang berlaku dalam suatu organisasi (baik publik maupun swasta) yang mengatur secara ke dalam maupun keluar.

Mengatur ke dalam berarti berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut hubungan atau interaksi antara manusia dalam organisasi juga antara manusia dengan sumber daya organisasi lainnya. Sedangkan mengatur keluar berarti berhubungan dengan interaksi antara organisasi dengan pihak lain baik dengan lembaga lain maupun dengan individu-individu.

Konsep birokrasi sesungguhnya berupaya mengaplikasikan prinsip-prinsip organisasi yang dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi administrasi, meskipun birokrasi yang keterlaluan seringkali justru menimbulkan efek yang tidak baik. Mouzelis menambahkan bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses berdasar pengetahuan teknis dan dengan efisiensi yang setinggi-tingginya.

Di samping diberikan makna yang cukup positif tersebut, birokrasi juga sering dimaknai secara negatif. Dalam perspektif yang negatif ini birokrasi dimaknai sebagai sebagai suatu proses yang berbelit-belit, waktu yang lama, biaya yang mahal dan menimbulkan keluh kesah yang pada akhirnya ada anggapan bahwa birokrasi itu tidak efisien dan bahkan tidak adil.

Biasanya masalah administrasi yang kompleks dan ruwet terdapat pada organisasi besar, seperti organisasi pemerintahan. Akan tetapi, sebenarnya birokrasi tidak dibatasi hanya pada institusi sektor publik saja. Serikat Dagang, Universitas, dan LSM merupakan contoh birokrasi di luar pemerintah.

Berikut ini adalah beberapa pengertian birokrasi dalam pandangan beberapa pakar:

1. Max Weber
Weber menulis banyak sekali tentang kedudukan pejabat dalam masyarakat modern. Baginya kedudukan pejabat merupakan tipe penanan sosial yang makin penting. Ciri-ciri yang berbeda dari peranan ini ialah: pertama, seseorang memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan. Kedua, bahwa fasilitas dan sumber-sumber yang diperlukan untuk memenuhi tugas-tugas itu diberikan oleh orang orang lain, bukan oleh pemegang peranan itu. Dalam hal ini, pejabat memiki posisi yang sama dengan pekerja pabrik, sedang Weber secara modern mengartikannya sebagai individu dari alat-alat produksi.

Tetapi pejabat memiliki ciri yang membedakannya dengan pekerja: ia memiliki otoritas. Karena pejabat memiliki otoritas dan pada saat yang sama inilah sumbangannya, ia berlaku hampir tanpa penjelasan bahwa suatu jabatan tercakup dalam administrasi (setiap bentuk otoritas mengekspresikan dirinya sendiri dan fungsinya sebagai administrasi). Bagi Weber membicarakan pejabat-pejabat administrasi adalah bertele-tele.

Meskipun demikian konsep tersebut muncul pertama kalinya. Perwira Tentara, Pendeta, Manajer Pabrik semuanya adalah pejabat yang menghabiskan waktunya untuk menginterpretasikan dan memindahkan instruksi tertulis. Ciri pokok pejabat birokrasi adalah orang yang diangkat, bukan dipilih. Dengan menyatakan hal ini Weber telah hampir sampai pada definisi umumnya yang dikenakan terhadap birokrasi.

Weber memandang Birokrasi sebagai birokrasi rasional atau ideal sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh lebih penting dari seluruh proses sosial (Sarundajang, 2003).

1. Farel Heady (1989):
Birokrasi adalah struktur tertentu yang memiliki karakteristik tertentu: hierarki, diferensiasi dan kualifikasi atau kompetensi. Hierarkhi bekaitan dengan struktur jabatan yang mengakibatkan perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi. Diferensisasi yang dimaksud adalah perbedaan tugas dan wewenang antar anggota organisasi birokrasi dalam mencapai tujuan.

Sedangkan kualifikasi atau kompetensi maksudnya adalah seorang birokrat hendaknya orang yang memiliki kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional. Dalam hal ini seorang birokrat bukanlah orang yang tidak tahu menahu tentang tugas dan wewenangnya, melainkan orang yang sangat profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut.

1. Hegel:
Birokrasi adalah institusi yang menduduki posisi organiik yang netral di dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang memanifestasikan kepentingan umum, dan masyarakat sipil yang mewakili kepentingan khusus dalam masyarakat.

Hegel melihat, bahwa birokrasi merupakan jembatan yang dibuat untuk menghubungkan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan negara yang dalam saat-saat tertentu berbeda. Oleh sebab itu peran birokrasi menjadi sangat strategis dalam rangka menyatukan persepsi dan perspektif antara negara (pemerintah) dan masyarakat sehingga tidak terjadi kekacauan.

1. Karl Marx
Birokrasi adalah Organisasi yang bersifat Parasitik dan Eksploitatif. Birokrasi merupakan Instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mengekploitasi kelas sosial yang lain (yang dikuasai). Birokrasi berfungsi untuk mempertahankan privilage dan status quo bagi kepentingan kelas kapitalis.

Dalam pandangan Marx yang berbeda dengan Hegel, birokrasi merupakan sistem yang diciptakan oleh kalangan atas (the have) untuk memperdayai kalangan bawah (the have not) demi mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Dalam hal ini birokrasi menjadi kambing hitam bagi kesalahan penguasa terhadap rakyatnya. Segenap kesalahan penguasa akhirnya tertumpu pada birokrasi yang sebenarnya hanya menjadi alat saja.

1. Blau dan Meyer
Birokrasi adalah sesuatu yang penuh dengan kekakuan (inflexibility) dan kemandegan struktural (structural static), tata cara yang berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup diri terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent). Dengan demikian Blau dan Meyer melihat bahwa birokrasi adalah sesuatu yang negatif yang hanya akan menjadi masalah bagi masyarakat.

1. Yahya Muhaimin
keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas membantu pemerintah (untuk memberikan pelayanan publik) dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.

1. Almond and Powell (1966):
The Governmental Bureaucracy is a group of formally organized offices and duties, lnked in a complex grading subordinates to the formal roler maker (Birokrasi Pemerintahan adalah sekumpulan tugas dan jabatan yang terorganisir secara formal berkaitan dengan jenjang yang kompleks dan tunduk pada pembuat peran formal)

Dari berbagai pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa Birokrasi sesungguhnya dapat dipahami dan diberi pengertian sebagai suatu sistem kerja yang berlaku dalam organisasi yang mengatur interaksi sosial baik ke dalam maupun keluar. Secara spesifik birokrasi publik (pemerintahan) dapat dimaknai sebagai institusi atau agen pemerintahan yang dilengkapi dengan otoritas sistematik dan rasional dengan aturan-aturan yang lugas (a system of authority relations defined by rationally developed rule) (Chandler and Plano, 1982 dalam Hariyoso, 2002).

TIPOLOGI BIROKRASI PUBLIK

Tipologi birokrasi dapat dilihat dari berbagai aspek. Menurut Zauhar (1996) dilihat dari perspektif otoritasnya, dikenal adanya birokrasi tradisional, birokrasi karismatik, dan birokrasi legal rasional.

Sumber legitimasi Birokrasi Tradisional adalah waktu, yang bersumber pada established belief in the sanctity of immerial traditions and the legitimacy of the status of those exercising under them. Sumber legitimasi Birokrasi Kharismatis, adalah kepribadian yang luar biasa yang dimiliki pemimpin, dan bersumber pada devotion to the spesific and exemplary character of an individual person and the normative patterns or orde revealed ordainded by him.

Birokrasi Legal Rasional bersumber pada aturan aturan yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karenanya Birokrasi Legal Rasional bersumber pada the legality of patterns of normative rules and the right of these elevated to authority under such rules to issue commands. Jenis yang terakhir ini yang menurut Weber (dalam Zauhar, 1996) merupakan unsur terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan organisasi.

Dari perspektif derajat keterbukaan, Lee (1971) dalam Zauhar (1996) mengklasifikasikan ke dalam birokrasi terbuka, campuran, dan tertutup. Yang dimaksud birokrasi terbuka, derajat keterbukaan birokrasi dapat dilihat pada aksesibilitas masyarakat untuk berhubungan dengan birokrasi, luasnya pelaksanaan recruitment, kebebasan kelompok lain untuk memasuki jajaran birokrasi tingkat menengah dan tinggi, serta derajat kesediaan birokrasi untuk mendistribusikan kekuasaannya kepada kelompok lain.

Dalam birokasi tertutup, ditandai dengan adanya ciri yang sangat elitis dikalangan birokrasi dan mereka menjadi kelas yang memiliki hak privelese tertentu. Untuk bisa masuk ke birokrasi harus melalui ujian pamong praja dikaitkan dengan lamanya kuliah di perguruan tinggi. Rotasi antar bagian bisa terjadi, namun tak diikuti dengan pemberian fasilitas. Kesetiaan para pamong kepada pekerjaannya. Moral mereka sangat tinggi namun orientasinya menjadi sempit.

Birokrasi campuran, menurut Zauhar (1996) merupakan tipe birokrasi hasil kontak yang terbatas antara birokrasi dengan masyarakat. Kontak yang agak terbatas tersebut dapat diawali dengan masuknya individu ke dalam jajaran birokrasi pemerintahan guna mengurangi kelemahan birokrasi, seperti kekurangmampuan birokrasi lama untuk merencanakan, statistik, industrialisasi dan lain lain. Keterbatasan itu pula maka terbuka dari masuknya para ekspert (ahli) baik dari kalangan perguruan tinggi maupun dari luar negeri.

Sementara itu, menurut Hariandja (1999), ada perbedaan yang signifikan antara pandangan umum tentang birokrasi dalam suatu keseharian dan sudut pandang ilmiah metodologis. Bagi awam, birokrasi mengingatkan pada struktur yang lamban, kekusutan prosedural, kaku, tidak efisian dan sebagainya.

Dalam banyak hal “kebenaran umum” (public image) ini tidak sepenuhnya salah.
Berbagai kasus menunjukkan, birokrasi lebih melayani dirinya dan kepentingan kliennya daripada mendahulukan kepentingan umum. Tidak jarang ia juga menjadi alat politik dari suatu kekuatan politik tertentu. Hal semacam itu tentu seharusnya tidak terjadi. Karena penjelasan mengenai birokrasi yang dilakukan secara ilmiah harus mencakup usaha untuk menguji hubungan administratif dan aparatur manajerial dalam kerangka konteks sosial yang spesifik, tempat birokrasi dibentuk.

Dengan demikian maka tipologi birokrasi dapat dibedakan menjadi 3, yakni (Zauhar, 1996);
1.Birokrasi Tradisional (bersumber pada Waktu)
2.Birokrasi Kharismatik (bersumber pada kepribadian)
3.Birokrasi Legal-rasional (bersumber pada aturan-aturan yang legal)

Birokrasi yang dapat meningkatkan efisiensi organisasi adalah birokrasi yang legal-rasional. Karena itu juga disebut sebagai birorasionalitas atau biro-efisiensi. Sedangkan birokrasi yang tidak mampu meningkatkan efisiensi disebut sebagai biropatologi (Zauhar, 1996).

PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI BIROKRASI

Dalam memahami Birokrasi dapat digunakan 3 Pendekatan (Zauhar, 1996):

1. Birokrasi dipandang sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat administrasi publik (Birokrasi Weber). Pemikiran Max Weber yang yelah dikupas tuntas oleh Martin Albrow menjelaskan bahwa Weber tidak pernah mendefinisikan birokrasi. Biasanya ia telah diasumsikan membuat definisi tersebut dan kegagalannya untuk membuat demikian bertentangan dengan usahanya untuk mendefinisikan konsep-konsep analisis organisasi lain. Memang jelas bahwa Weber tidak menganggap istilah “birokrasi” sebagai bahasa ilmu sosial.

Apa yang dikerjakannya secara hati-hati adalah merinci segi-segi apa yang dipandangnya sebagai bentu birokrasi yang paling rasional. Salah satu petunjuk bagi konsep umum Birokrasi Weber, tampak dalam identifikasinya terhadap jenis birokrasi yang lain terpisah dari tipe paling rasional.

Inilah Birokrasi Patrimonial. Birokrasi Patrimonial ini berbeda dengan birokrasi rasional terutama karena para pejabat yang bekerja tidak bebas dibanding orang-orang yang diangkat secara kontraktual. Weber menemukan contoh-contoh tersebut dalam Imperium Romawi terakhir, dalam Mesir Kuno dan dalam Imperium Bizantium. Namun demikian, hakekat gagasan birokrasi patrimonial adalah keberadaan suatu badan. Konsep tentang pejabat (Beamter) merupakan dasar bagi konsep tentang birokasi. Hal itu diperkuat dengan seringnya Weber dalam berbagai kesempatan menggunakan breamtentum (staf pegawai) sebagai suatu alternatif bagi birokrasi (Sarundajang, 2003).

2. Birokasi dipandang sebagai organisasi yang membengkak dan jumlah pegawainya besar (Parkinson Law). Parkinson Law mengatakan:
a.Setiap Pegawai Negeri akan berusaha sekuat tenaga meningkatkan jumlah pegawai bawahannya
b.Setiap Pegawai Pegeri akan selalu menciptakan tugas baru bagi dirinya sendiri yang sering diragukan manfaat dan artinya
c.Karena itu laju birokrasi akan meningkat dan jumlah pegawai akan naik secara otomatis tidak tergantung dari beban tugas yang diperlukan

1. Birokrasi dipandang sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan masyarakat (Orwelisasi).

KARAKTERISTIK IDEAL BIROKRASI

Ilmuwan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan teori birokrasi adalah Max Weber, seorang sosiolog jerman yang juga ahli hukum.

Weber pernah menulis buku wirtschaft und gesellchaft (teori organisasi sosial dan ekonomi) yang didalamnya terdapat salah satu bab mengenai birokrasi. Karya itu sampai sekarang dikenal konsep tipe ideal birokrasi. Konsep tipe ideal ini kurang dikenal tentang kritiknya terhadap seberapa jauh peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau bagaimana peran politik terhadap birokrasi. Birokrasi Weberian hanya menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu secara profesional dan rasional dijalankan.

Menurutnya, birokrasi dan institusi lainnya dapat dilihat sebagai “kehidupan kerja yang rutin” (routines of workday life). Untuk menyeimbangkan kerja rutin tersebut, ia memperkenalkan gagasan mengenai “charisma” yang direfleksikan dalam bentuk kepemimpinan yang kharismatik. Weber mengamati bahwa birokrasi membentuk proses administrasi yang rutin sama persis dengan mesin pada proses produksi.

Dalam model yang diajukan Weber, birokrasi memiliki karakteristik ideal sebagai berikut (dalam Islamy, 2003):

1. Pembagian Kerja/ Spesialisasi (division of labor)

Dalam menjalankan berbagai tugasnya, birokrasi membagi kegiatan-kegiatan pemerintahan menjadi bagian-bagian yang masing-masing terpisah dan memiliki fungsi yang khas. Pembagian kerja seperti ini memungkinkan terjadinya spesialisasi fungsi. Dengan cara seperti ini, penugasan spesialis untuk tugas-tugas khusus bisa dilakukan dan setiap mereka bertanggung jawab atas keberesan pekerjaannya masing-masing.

Aktivitas yang reguler mensyaratkan tujuan organisasi didistribusikan dengan cara yang tetap dengan tugas-tugas kantor (official duties). Pemisahan tugas secara tegas memungkinkan untuk memperkerjakan ahli yang terspesialisasi pada setiap posisi dan menyebabkan setiap orang bertanggungjawab terhadap kinerja yang efektif atas tugas-tugasnya. Karena itu tugas-tugas birokrasi hendaknya dilakukan oleh masing-masing pegawai yang benar-benar memiliki keahlian khusus (specialized expert) dan bertanggung jawab demi tercapainya tujuan organisasi secara efektif dan efisien.

2. Adanya prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)
Ciri khas birokrasi adalah adanya wewenang yang disusun secara hierarkis atau berjenjang. Hierarki itu berbentuk piramid yang memiliki konsekuensi semakin tinggi suatu jenjang berarti pula semakin besar wewenang yang melekat di dalamnya dan semakin sedikit penghuninya.

Hierarki wewenang ini sekaligus mengindikasikan adanya hierarki tanggung jawab. Dalam hierarki itu setiap pejabat harus bertanggung jawab kepada atasannya mengenai keputusan-keputusan dan tindakan-tindakannya sendiri maupun yang dilakukan oleh anak buahnya. Pada setiap tingkat hierarki, para pejabat birokrasi memiliki hak memberi perintah dan pengarahan pada bawahannya, dan para bawahan itu berkewajiban untuk mematuhinya. Sekalipun begitu, ruang lingkup wewenang memberi perintah itu secara jelas dibatasi hanya pada masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kegiatan resmi pemerintahan.

Organisasi birokrasi mengikuti prinsip hirarki sehingga setiap unit yang lebih rendah berada dalam pengendalian dan pengawasan organisasi yang lebih tinggi. Setiap pegawai dalam hirarki administrasi bertanggungjawab kepada atasannya.

Keputusan dan tindakan harus dimintakan persetujuan kepada atasan. Agar dapat membebankan tanggungjawabnya kepada bawahan, ia memiliki wewenang/ kekuasaan atas bawahannya sehingga ia mempun¬yai hak untuk mengeluarkan perintah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh bawahan. Meskipun masing-masing pegawai yang berada pada jenjang mempunyai otoritas-birokratis tetapi penggunaan otoritas tersebut tetap harus relevan dengan tugas-tugas resmi organisasi.

3. Adanya sistem aturan (system of rules)
Kegiatan pemerintahan diatur oleh suatu sistem aturan main yang abstrak. Aturan main itu merumuskan lingkup tanggung jawab para pemegang jabatan di berbagai posisi dan hubungan di antara mereka. Aturan-aturan itu juga menjamin koordinasi berbagai tugas yang berbeda dan menjamin keseragaman pelaksanaan berbagai kegiatan itu.

Operasi kegiatan dalam birokrasi dilaksanakan berdasarkan sistem aturan yang ditaati secara konsisten. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin adanya unuformitas kinerja setiap tugas dan rasa tanggung jawab masing-masing anggota organisasi bagi pelaksanaan tugasnya.