Kamis, 22 Desember 2011

Aliansi Pedagang dan Korban Penggusuran Kecam Kebijakan Pemkot Kendari Unjukrasa mengecam kebijakan Pemkot Kendari Beritakendari.com-Kamis (22/12/2011) Menjelang akhir masa jabatannya, serangkaian kebijakan yang ditelorkan Pemerintah Kota Kendari dibawah kendali Asrun-Musadar mulai menuai kritik dan kecaman dari sejumlah elemen masyarakat karena dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil. Serangkaian kebijakan pemerintahan Asrun- Musadar yang dinilai tidak pro-rakyat antara lain pembagian lods Pasar Sentral Kota Kendari, Pasar Wua wua , pembangunan pelabuhan kontainer Bungkutoko, dan pembangunan terminal tipe A di Baruga. Pagi tadi, Kamis (22/12/2011) Forum Solidaritas Pedagang Pasar Baru yang merupakan gabungan dari 15 elemen lembaga, antara lain Forum Masyarakat Bungutoko, Forum Masyarakat Baruga, LBH Kendari, KPW-PRD Sultra menggelar aksi unjukrasa di kantor DPRD Kota Kendari untuk menyuarakan kekecewaan mereka terhadap kebijakan pemerintah Kota Kendari. “Kami datang di kantor dewan untuk mempertanyakan apakah para anggota dewan ini pro-rakyat atau pro-pemkot. Kita minta agar dewan turun kelapangan dan mengecek apa yang diperbuat pemkot terhadap masyakatnya,” kata Korlap Aksi Unjukrasa, Bustaman. Pengunjukrasa juga memprotes penyerobotan lahan milik warga atas nama Matius cs di Baruga dan pembebasan lahan warga di Bungutoko. Penyerobotan lahan itu menurut warga telah melanggar Perpres nomor 65 tahun 2009. “Ini kan ironis, masa pembangunan pasar Sentral Kota, Wua wua, Bonggoeya yang didanai oleh dana APBD, malah rakyat disuruh bayar DP. Harusnya gunakan itu dana APBD yang sudah dialokasikan untuk membangun pasar, jangan suruh rakyat yang bayar lods, kios dan DP. Kami menolak pembayaran seperti itu,” kecam, Hendrawan, salah seorang pengunjukrasa. Menanggapi tuntutan massa, Ketua Komisi III Alwi Genda didampingi rekannya Muh. Amin, Zainuddin Monggilo, Wa Ode Rachmasari dan Aladin berjanji akan memanggil pihak pemerintah untuk menyelesaikan masalah itu pada tangal 10 Januari 2012. [sh] Bentuk Kebijakan Kota Kendari Memanusiakan PKL di kota kendari Membangun sekelompok kecil manusia yang telah maju dan berkemampuan akan lebih mudah ketimbang manusia terbelakang dan tak berkemampuan. Sehingga tidak mengherankan, membangun kaum pengusaha besar lebih mudah daripada pedagang kaki lima (PKL) yang tertinggal dan miskin. Terbatasnya kesempatan kerja di sektor formal terutama bagi penduduk yang berpendidikan dan berketrampilan rendah terutama di kalangan kelompok miskin kota, menjadi pedagang kaki lima (PKL) sebuah alternatif pekerjaan yang cukup populer. Hal ini terkait dengan cirinya yang fleksibel, modal yang dibutuhkan relatif kecil dan tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit. Pedagang kaki lima (PKL) di beberapa kota besar identik dengan masalah kemacetan arus lalu lintas, karena PKL memanfaatkan trotoar sebagai media berdagang. Akan tetapi, bagi sebagian kelompok masyarakat, PKL justru menjadi solusi mereka karena menyediakan harga lebih miring. Sektor informal seperti PKL di kota kendari sering kali dianggap sebagai komunitas marjinal, maka memerlukan perubahan lebih mendalam daripada hanya sekedar pemberian kredit murah, dan bantuan teknis. Tapi pihak pemerintah memberikan perhatian dalam merumuskan solusi apa yang akan ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan menjamin ke beradaan PKL melalui perlindungan hukum, pembinaan, bimbingan dan mempermudah akses terhadap sumber-sumber ekonomi yang tersedia. Pemberdayaan dan keberfihakan pemerintah terhadap PKL yang lebih manusiawi akan membawa kota pada kesejahteraan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan daerah. Maka Komunikasi dan pertemuan rutin antara pemerintah kota dengan PKL tidak hanya ketika mau penertiban saja, sehingga PKL bisa diajak merumuskan bagaimana sebaiknya menata PKL dan memberdayakannya. PKL di kota kendari mempunyai karakteristik sebagai berikut. Pertama, aspek ekonomi, merupakan kegiatan ekonomi skala kecil dengan modal relatif minim, konsumen lokal dengan pendapatan menengah ke bawah, kegiatan usaha dikelola satu orang atau usaha keluarga dengan pola manajemen tradisional. Kedua, aspek Sosial, sebagian besar berpendidikan rendah dan masyarakat urban dengan jumlah anggota keluarga yang besar. Ketiga, aspek tempat usaha, kurang memperhatikan kebersihan dan berlokasi di tempat yang padat lalu lintas. Jumlahnya dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan akibat terbatasnya jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor formal. Jumlah PKL yang terus bertambah menghadirkan kompetisi tersendiri sehingga mereka enggan berpindah dari tempat berjualan. Melihat kompleksitasnya permasalahan PKL di kota kendari, khusunya di bulan ramadhan yang sebentar lagi datang, tentu memerlukan upaya ekstra dan strategis yang pas untuk menanganinya. Sebaiknya pemerintah kota mengizinkan PKL berjualan di area-area tertentu atau pada jam-jam tertentu, menyeragamkan ukuran, warna, dan bentuk lapak PKL sehingga terlihat rapih, serta menerapkan transparansi dalam penarikan retribusi, tidak menerapkan kebijakan penggusuran kecuali jika ada keluhan yang disampaikan secara resmi oleh masyarakat ke instansi yang terkait. Untuk itu, pemerintah kota kendari bersama dengan DPRD sebaiknya mempersiapkan peraturan daerah (perda) khusus untuk menata dan membina para PKL. Beberapa alasan yang membuat pemerintah kota belum mampu menemukan solusi untuk menghasilkan kebijakan pengelolaan PKL yang bersifat manusiawi. Pertama, PKL seringkali menjadi target utama kebijakan-kebijakan pemerintah kota, seperti penggusuran dan relokasi, berbagai kebijakan tersebut terbukti kurang efektif karena banyak PKL yang kembali beroperasi di jalanan meskipun pernah digusur atau direlokasi. Hal ini menekankan bahwa fenomena ekonomi informal, khususnya PKL di area perkotaan sulit diselesaikan. Kedua, pemerintah kota tidak memberikan kesempatan yang lebih besar kepada kelompok PKL untuk ikut menikmati dan mendapatkan akses dalam pemanfaatan ruang kota karena PKL diangggap membuat kota menjadi semrawut dan kotor walaupun banyak menampung tenaga kerja. Ketiga, pemerintah kota belum mempunyai kebijakan yang meliputi: kejelasan visi dan konsep, adanya basis data dan informasi yang akurat tentang keberadaan pkl di kota kendari, siapa mereka dan bagaimana sistem kehidupan yang dijalaninya, apa masalah riil yang terkait dengan PKL. Akibatnya, pemerintah kota cenderung menyepelekan keberadaan PKL serta membuat kebijakan menjadi salah sasaran. Keempat, arah kebijakan pembangunan pemerintah Kota kendari yang cenderung tertuju pada pengembangan pasar modern ketimbang pasar tradisional dan PKL karena keberadaan pasar modern tampak lebih teratur dan bersih, apalagi jika dibandingkan dengan pasar tradisional dan PKL yang sering terlihat semrawut. kelima, kurang adanya sosialisasi dari pemerintah kepada khalayak, sehingga PKL yang sudah ditertibkan di kios pasar, sepi pembeli karena tempat yang disediakan pemerintah ternyata kurang strategis dan kurang menguntungkan PKL sehingga masih banyak PKL yang tidak mau ditempatkan di kios-kios pasar yang dibangunkan pemerintah.


Aliansi Pedagang dan Korban Penggusuran Kecam Kebijakan Pemkot Kendari
Unjukrasa mengecam kebijakan Pemkot Kendari
      Beritakendari.com-Kamis (22/12/2011) Menjelang akhir masa jabatannya, serangkaian kebijakan yang ditelorkan Pemerintah Kota Kendari dibawah kendali Asrun-Musadar mulai menuai kritik dan kecaman dari sejumlah elemen masyarakat karena dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil.
Serangkaian kebijakan pemerintahan Asrun- Musadar yang dinilai tidak pro-rakyat antara lain pembagian lods Pasar Sentral Kota Kendari, Pasar Wua wua
, pembangunan pelabuhan kontainer Bungkutoko, dan pembangunan terminal tipe A di Baruga.
Pagi tadi, Kamis (22/12/2011) Forum Solidaritas Pedagang Pasar Baru yang merupakan gabungan dari 15 elemen lembaga, antara lain Forum Masyarakat Bungutoko, Forum Masyarakat Baruga, LBH Kendari, KPW-PRD Sultra menggelar aksi unjukrasa di kantor DPRD Kota Kendari untuk menyuarakan kekecewaan mereka terhadap kebijakan pemerintah Kota Kendari.
“Kami datang di kantor dewan untuk mempertanyakan apakah para anggota dewan ini pro-rakyat atau pro-pemkot. Kita minta agar dewan turun kelapangan dan mengecek apa yang diperbuat pemkot terhadap masyakatnya,” kata Korlap Aksi Unjukrasa, Bustaman.
       Pengunjukrasa juga memprotes penyerobotan lahan milik warga atas nama Matius cs di Baruga dan pembebasan lahan warga di Bungutoko. Penyerobotan lahan itu menurut warga telah melanggar Perpres nomor 65 tahun 2009. “Ini kan ironis, masa pembangunan pasar Sentral Kota, Wua wua, Bonggoeya yang didanai oleh dana APBD, malah rakyat disuruh bayar DP. Harusnya gunakan itu dana APBD yang sudah dialokasikan untuk membangun pasar, jangan suruh rakyat yang bayar lods, kios dan DP. Kami menolak pembayaran seperti itu,” kecam, Hendrawan, salah seorang pengunjukrasa.
Menanggapi tuntutan massa, Ketua Komisi III Alwi Genda didampingi rekannya Muh. Amin, Zainuddin Monggilo, Wa Ode Rachmasari dan Aladin berjanji akan memanggil pihak pemerintah untuk menyelesaikan masalah itu pada tangal 10 Januari 2012. [sh]













Bentuk Kebijakan Kota Kendari

         Membangun sekelompok kecil manusia yang telah maju dan berkemampuan akan lebih mudah ketimbang manusia terbelakang dan tak berkemampuan. Sehingga tidak mengherankan, membangun kaum pengusaha besar lebih mudah daripada pedagang kaki lima (PKL) yang tertinggal dan miskin.
        Terbatasnya kesempatan kerja di sektor formal terutama bagi penduduk yang berpendidikan dan berketrampilan rendah terutama di kalangan kelompok miskin kota, menjadi pedagang kaki lima (PKL) sebuah alternatif pekerjaan yang cukup populer. Hal ini terkait dengan cirinya yang fleksibel, modal yang dibutuhkan relatif kecil dan tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit.
Pedagang kaki lima (PKL) di beberapa kota besar identik dengan masalah kemacetan arus lalu lintas, karena PKL memanfaatkan trotoar sebagai media berdagang. Akan tetapi, bagi sebagian kelompok masyarakat, PKL justru menjadi solusi mereka karena menyediakan harga lebih miring.
       Sektor informal seperti PKL di kota kendari sering kali dianggap sebagai komunitas marjinal, maka memerlukan perubahan lebih mendalam daripada hanya sekedar pemberian kredit murah, dan bantuan teknis. Tapi pihak pemerintah memberikan perhatian dalam merumuskan solusi apa yang akan ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan menjamin ke beradaan PKL melalui perlindungan hukum, pembinaan, bimbingan dan mempermudah akses terhadap sumber-sumber ekonomi yang tersedia.
     Pemberdayaan dan keberfihakan pemerintah terhadap PKL yang lebih manusiawi akan membawa kota pada kesejahteraan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan daerah. Maka Komunikasi dan pertemuan rutin antara pemerintah kota dengan PKL tidak hanya ketika mau penertiban saja, sehingga PKL bisa diajak merumuskan bagaimana sebaiknya menata PKL dan memberdayakannya.
    PKL di kota kendari mempunyai karakteristik sebagai berikut. Pertama, aspek ekonomi, merupakan kegiatan ekonomi skala kecil dengan modal relatif minim, konsumen lokal dengan pendapatan menengah ke bawah, kegiatan usaha dikelola satu orang atau usaha keluarga dengan pola manajemen tradisional.
Kedua, aspek Sosial, sebagian besar berpendidikan rendah dan masyarakat urban dengan jumlah anggota keluarga yang besar.
Ketiga, aspek tempat usaha, kurang memperhatikan kebersihan dan berlokasi di tempat yang padat lalu lintas. Jumlahnya dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan akibat terbatasnya jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor formal.
Jumlah PKL yang terus bertambah menghadirkan kompetisi tersendiri sehingga mereka enggan berpindah dari tempat berjualan. Melihat kompleksitasnya permasalahan PKL di kota kendari, khusunya di bulan ramadhan yang sebentar lagi datang, tentu memerlukan upaya ekstra dan strategis yang pas untuk menanganinya.
Sebaiknya pemerintah kota mengizinkan PKL berjualan di area-area tertentu atau pada jam-jam tertentu, menyeragamkan ukuran, warna, dan bentuk lapak PKL sehingga terlihat rapih, serta menerapkan transparansi dalam penarikan retribusi, tidak menerapkan kebijakan penggusuran kecuali jika ada keluhan yang disampaikan secara resmi oleh masyarakat ke instansi yang terkait.
Untuk itu, pemerintah kota kendari bersama dengan DPRD sebaiknya mempersiapkan peraturan daerah (perda) khusus untuk menata dan membina para PKL. Beberapa alasan yang membuat pemerintah kota belum mampu menemukan solusi untuk menghasilkan kebijakan pengelolaan PKL yang bersifat manusiawi.
Pertama, PKL seringkali menjadi target utama kebijakan-kebijakan pemerintah kota, seperti penggusuran dan relokasi, berbagai kebijakan tersebut terbukti kurang efektif karena banyak PKL yang kembali beroperasi di jalanan meskipun pernah digusur atau direlokasi. Hal ini menekankan bahwa fenomena ekonomi informal, khususnya PKL di area perkotaan sulit diselesaikan.
Kedua, pemerintah kota tidak memberikan kesempatan yang lebih besar kepada kelompok PKL untuk ikut menikmati dan mendapatkan akses dalam pemanfaatan ruang kota karena PKL diangggap membuat kota menjadi semrawut dan kotor walaupun banyak menampung tenaga kerja.
Ketiga, pemerintah kota belum mempunyai kebijakan yang meliputi: kejelasan visi dan konsep, adanya basis data dan informasi yang akurat tentang keberadaan pkl di kota kendari, siapa mereka dan bagaimana sistem kehidupan yang dijalaninya, apa masalah riil yang terkait dengan PKL. Akibatnya, pemerintah kota cenderung menyepelekan keberadaan PKL serta membuat kebijakan menjadi salah sasaran.
Keempat, arah kebijakan pembangunan pemerintah Kota kendari yang cenderung tertuju pada pengembangan pasar modern ketimbang pasar tradisional dan PKL karena keberadaan pasar modern tampak lebih teratur dan bersih, apalagi jika dibandingkan dengan pasar tradisional dan PKL yang sering terlihat semrawut.
kelima, kurang adanya sosialisasi dari pemerintah kepada khalayak, sehingga PKL yang sudah ditertibkan di kios pasar, sepi pembeli karena tempat yang disediakan pemerintah ternyata kurang strategis dan kurang menguntungkan PKL sehingga masih banyak PKL yang tidak mau ditempatkan di kios-kios pasar yang dibangunkan pemerintah.